Indonesia Investigasi
Bireuen, Aceh – Di sebuah sudut negeri ini, seorang anak usia lima tahun berdiri mematung di atas panggung dengan toga kebesaran yang nyaris menenggelamkan tubuh kecilnya. Di tangannya, sebuah ijazah mini dan buket bunga plastik. Di balik panggung, seorang ibu menyeka air mata, bukan karena haru, tetapi karena tabungan belanja mingguan habis demi menyewa pakaian dan membayar foto wisuda anak PAUD-nya.
Inikah yang disebut perayaan pencapaian?
Fenomena wisuda bagi siswa dari PAUD hingga SMA kini telah menjamur nyaris di setiap pelosok Negeri. Padahal, secara esensi, wisuda adalah prosesi akademik yang sakral milik mahasiswa yang telah menyelesaikan jenjang perguruan tinggi, bukan untuk anak-anak yang bahkan belum paham arti dari kata ‘sarjana’.
Lalu siapa yang menggagas ini? Siapa yang pertama kali merasa perlu membuat anak-anak berdandan, dirias, dan difoto bak penyandang gelar doktor?
Apakah pihak sekolah? Apakah institusi pendidikan? Dan yang lebih penting, apa urgensinya?
Tak bisa disangkal, ini telah menjadi beban terselubung bagi banyak keluarga kelas menengah ke bawah. Ada orang tua yang harus menunda bayar listrik demi menyewa pakaian wisuda. Ada pula anak-anak yang merasa rendah diri karena tak bisa tampil ‘semegah’ teman-temannya. Semua ini terjadi untuk seremoni yang sejatinya tidak ada faedah mendasar dalam perjalanan akademik mereka.
Terlebih bagi siswa SMP dan SMA, yang kini harus menyewa jas, gaun, hingga make up artist demi mengikuti ‘wisuda sekolah’ yang seolah menjadi kewajiban tak tertulis. Biaya? Bisa mencapai jutaan rupiah hanya untuk satu hari. Sementara pendidikan masih panjang, dan masa depan mereka belum ditentukan.
Ironisnya, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kegiatan ini tetap digelar dengan kemewahan. Bahkan ada keluarga kaya yang berlomba-lomba memberikan hadiah mewah, buket uang, hingga pesta tambahan. Ini bukan lagi perayaan pendidikan. Ini adalah kontes status sosial yang terselubung.
Sudah saatnya Dinas Pendidikan dan kepala sekolah berbenah. Hentikan kegiatan absurd yang hanya jadi ajang formalitas kosong. Pendidikan bukan soal panggung, bukan soal foto di balik backdrop besar, apalagi soal buket dan balon.
Wisuda bukan milik TK, bukan milik SMP, dan bukan pula milik SMA. Wisuda adalah milik perguruan tinggi. Titik.
Anak-anak kita tidak butuh toga untuk tumbuh. Mereka butuh dukungan, bukan beban. Mereka butuh motivasi, bukan perbandingan sosial. Dan kita, para orang dewasa, seharusnya jadi pelindung mereka dari dunia palsu bernama ”seremoni”.
Teuku Fajar Al-Farisyi