Saksi Verbalisan dalam Persidangan Pembunuhan: Menimbang Keabsahan dari Perspektif Pelaku dan Korban

Indonesia Investigasi 

 

Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

Pemerhati/pengamat

Bacaan Lainnya

 

 

DALAM sistem peradilan pidana, setiap kasus pembunuhan tidak hanya melibatkan aspek hukum yang kompleks, tetapi juga dinamika emosional antara pelaku, korban, dan keluarga korban. Salah satu elemen yang kerap menjadi titik krusial dalam proses persidangan adalah keberadaan saksi verbalisan, dalam hal ini penyidik dihadirkan untuk mengonfirmasi atau membenarkan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah sesuai dengan kejadian sebenarnya. Keberadaannya bisa menjadi titik terang dalam menggali kebenaran, tetapi juga dapat menimbulkan perdebatan terkait objektivitas dan keabsahan bukti yang diajukan.

 

Dari sudut pandang korban atau keluarganya, saksi verbalisan sering dianggap sebagai elemen penting dalam menjaga keabsahan proses hukum. Dalam kasus pembunuhan, keluarga korban menginginkan keadilan secepat mungkin. BAP yang disusun oleh penyidik merupakan alat bukti utama yang bisa memperjelas kronologi kejadian, termasuk pengakuan pelaku saat diperiksa. Keberadaan saksi verbalisan bertujuan untuk memastikan bahwa, keterangan dalam BAP tidak dibuat berdasarkan tekanan atau manipulasi, sehingga tidak merugikan pihak korban dan dapat membantu mempercepat putusan yang adil. Bagi mereka, saksi verbalisan bisa menjadi jaminan bahwa proses penyelidikan yang sudah dilakukan tidak begitu saja dapat dipatahkan oleh pembelaan terdakwa yang berupaya mencabut atau mengubah pengakuannya di persidangan.

 

Namun, dari perspektif pelaku, saksi verbalisan bisa menjadi tantangan yang berat. Tidak jarang dalam persidangan pembunuhan, terdakwa mengklaim bahwa BAP yang ia tanda tangani dibuat dalam kondisi tidak sepenuhnya bebas dari tekanan atau paksaan. Dalam beberapa kasus, pengakuan yang diambil dalam proses penyelidikan dianggap sebagai hasil interogasi yang penuh tekanan, sehingga terdakwa merasa dirugikan dan berupaya menarik kembali keterangannya. Keberadaan saksi verbalisan dalam konteks ini dapat memperkuat bukti yang memberatkan terdakwa, tetapi di sisi lain, juga bisa menjadi alat untuk mempertahankan legitimasi penyidikan tanpa mempertimbangkan secara utuh apakah pengakuan tersebut benar-benar dihasilkan dalam kondisi yang adil dan tanpa tekanan.

 

Perdebatan tentang saksi verbalisan dalam kasus pembunuhan pada akhirnya menuntut sistem peradilan untuk menghadirkan mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel. Seharusnya, keberadaan saksi verbalisan tidak serta-merta menjadi penentu tunggal dalam menilai keabsahan suatu BAP. Hakim harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kondisi pemeriksaan terdakwa saat proses penyidikan berlangsung. Selain itu, perlu ada evaluasi lebih lanjut mengenai apakah seorang penyidik yang bertindak sebagai saksi verbalisan dapat memberikan kesaksian dengan objektivitas penuh, mengingat keterlibatannya dalam proses penyidikan.

 

Keseimbangan antara kepentingan korban dan terdakwa dalam kasus pembunuhan menjadi aspek penting dalam menjaga keadilan dalam sistem peradilan pidana. Saksi verbalisan mungkin tetap memiliki peran dalam memastikan bahwa penyidikan berjalan sesuai prosedur, tetapi keabsahannya tidak boleh hanya diukur dari sudut pandang institusi penegak hukum semata. Hak-hak terdakwa harus tetap diperhatikan agar sistem hukum berjalan dengan adil, tanpa mengorbankan kepentingan korban yang menginginkan kejelasan dan keadilan atas kehilangan yang mereka alami.

 

Pertimbangan selanjutnyaa aadalah keluarga korban telah memberikan kepercayaan besar kepada pengadilan agar korban mendapatkan keadilan seadil-adilnya melalui putusan yang sesuai prosedur hukum yang berlaku atas tindakan pidana yang telah dilakukan. Dalam putusan juga harus mempertimbangkan bentuk hukuman yang sesuai kepada terdakwa agar dapat menekan angka kejadian yang serupa. Keluarga dan publik menginginkan bahwa putusan tersebut haruslah membuat terdakwa itu “jera” dan tidak berulang kembali.

 

Dengan demikian, saksi verbalisan dalam persidangan pembunuhan harus diposisikan sebagai elemen yang perlu diuji secara kritis, bukan sekadar alat untuk mempertahankan BAP. Regulasi yang lebih jelas mengenai batasan dan mekanisme penggunaannya bisa menjadi langkah maju dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan hukum, keadilan bagi korban, serta perlindungan hak-hak terdakwa dalam persidangan.

 

Nurhalim

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *