Indonesia Investigasi
KUTAI TIMUR – IndonesiaInvestigasi.com – 22 Juni 2025 – Di lembah-lembah Desa Kandolo, Kecamatan Telukpandan, terkuaklah sebuah narasi yang tak hanya mengisahkan tentang tanah, tetapi juga tentang hakikat keberadaan, keadilan, dan masa depan itu sendiri.
Di sinilah SIGAP (Sinergi Generasi Produktif) menjadi kunci utama dalam menerima dan memahami kompleksitas yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tani di sana. Keluhan yang mengemuka bukanlah sekadar daftar tuntutan pragmatis, melainkan sebuah seruan filosofis terhadap struktur kekuasaan dan cara pandang kita terhadap alam.
Inti pergulatan ini adalah lahan: sebidang tanah yang secara de jure mungkin tergolong Kawasan Hutan Lindung/Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), namun secara de facto adalah medan hidup, lumbung pangan, dan cerminan identitas petani. Ini adalah dialektika antara regulasi yang abstrak dan realitas hidup yang konkret. Hukum mendefinisikan batas, namun kehidupan menuntut ruang untuk bernapas dan bertumbuh.
Para petani Kandolo, sebagai subjek eksistensial dari drama ini, menghadapi paradoks modern. Mereka menyadari bahwa di era digital ini, produktivitas adalah mantra. Mereka memahami narasi besar tentang ketahanan pangan nasional dan global—sebuah imperatif tak terhindarkan. Namun, bagaimana mungkin sebuah visi makro dapat terwujud jika mikrokosmos petani, dengan lahan yang kian menyempit, tercekik dalam ketidakpastian legal? Ini bukan hanya soal efisiensi pertanian, melainkan tentang otonomi manusia yang terancam.
Usulan tentang teknologi digitalisasi yang mereka gagas terancam menjadi utopia. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat pembebasan, justru terbelenggu oleh determinisme spasial: tanpa lahan memadai dan legalitas pasti, aplikasi canggih hanyalah hiasan tanpa fungsi. Ironisnya, program visioner seperti “makan gratis” di tingkat nasional, yang bertujuan mulia, mungkin akan menemukan batu sandungan pada akar rumput ini. Petani tak mampu berkontribusi maksimal pada ketahanan pangan daerah, apalagi bersaing secara global, karena keterbatasan ontologis atas tanahnya.
Maka, keluhan ini bukan hanya untuk Kepala Desa Kandolo atau Camat Telukpandan; ini adalah ajakan bagi kita semua—para pemangku kebijakan, masyarakat, hingga setiap individu—untuk merenungkan kembali epistemologi tanah. Apakah tanah hanya sebatas komoditas atau kategori hukum? Ataukah ia adalah akar dari keberlanjutan, fondasi dari sebuah peradaban yang beradab?
Mencari regulasi yang “cocok” berarti mencari sebuah harmoni etis antara konservasi alam dan keberlanjutan hidup manusia. Skema seperti Perhutanan Sosial—Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan—bukan sekadar program administratif, melainkan pengakuan terhadap hak asasi untuk berinteraksi secara simbiotik dengan alam, sebuah upaya menjembatani jurang antara legalitas formal dan keadilan substansial.
Pada akhirnya, apa yang terjadi di Kandolo adalah sebuah mikrokosmos dari pergulatan global: bagaimana kita menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan integritas lingkungan? Bagaimana kita memastikan bahwa kemajuan tidak mengorbankan akar-akar kemanusiaan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggema, menuntut tidak hanya respons politis, tetapi juga refleksi filosofis yang mendalam, dimulai dari kesediaan SIGAP untuk sungguh-sungguh menerima dan menindaklanjuti keluhan yang mendalam ini demi ketahanan pangan kita bersama.
Bambang