Empat Pulau, Satu Harga Diri: Ketika Administrasi Menabrak Sejarah

Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

 

Indonesiainvestigasi.com

Pemindahan administratif empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil—dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara lewat Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 memantik diskusi panas yang tak bisa diabaikan. Di permukaan, ini mungkin tampak seperti sekadar perubahan teknis. Namun bagi masyarakat Aceh, ini adalah isu yang menyentuh akar identitas, sejarah, dan hak kedaerahan.

Bacaan Lainnya

 

Selama puluhan tahun, empat pulau tersebut telah menjadi bagian dari Aceh Singkil, baik secara sosial, historis, maupun administratif. Dana APBD Aceh mengalir untuk membangun fasilitas publik di sana, aktivitas masyarakatnya terhubung dengan Aceh, dan bahkan referensi peta dan dokumen masa lalu pun menguatkan klaim itu. Maka, pengalihan sepihak dari pusat dianggap mencederai memori kolektif dan semangat otonomi khusus Aceh yang diperjuangkan melalui konflik berkepanjangan.

 

Pihak pemerintah pusat berdalih bahwa penentuan ini didasarkan pada hasil verifikasi nama dan koordinat sejak 2008, dan posisi geografis keempat pulau lebih dekat ke Tapanuli Tengah. Tetapi pendekatan seperti ini dianggap terlalu teknokratis, menafikan konteks sosial dan budaya yang telah melekat kuat di tengah masyarakat Aceh selama bertahun-tahun.

 

Reaksi keras pun bermunculan dari berbagai elemen. Gubernur Aceh dan tokoh-tokoh sipil menyuarakan keberatan, menyebut bahwa keputusan ini tidak hanya melanggar semangat otonomi, tetapi juga berpotensi menyalakan ketegangan baru. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan mengapa proses pengalihan ini dilakukan secara diam-diam, tanpa dialog terbuka dengan pemerintah daerah maupun masyarakat terdampak.

 

Tak sedikit yang membaca keputusan ini dengan kacamata politis dan ekonomi. Letak pulau-pulau tersebut yang strategis dan dekat dengan blok kerja migas OSWA (Offshore West Aceh) mencurigakan sebagian pihak. Muncul spekulasi bahwa pengalihan ini bukan hanya soal peta, melainkan soal penguasaan terhadap potensi sumber daya alam yang menjanjikan.

 

Narasi ketidakadilan ini pun diperkuat oleh suara nasional yang mempertanyakan landasan hukum pengalihan. Mantan Wapres Jusuf Kalla, misalnya, mengingatkan bahwa aturan menteri tidak bisa bertentangan dengan undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan ini tidak sesederhana regulasi administratif, melainkan menyentuh prinsip-prinsip konstitusional.

 

Dalam sejarah relasi Aceh dan pemerintah pusat, luka-luka lama belum sepenuhnya sembuh. Pengambilan keputusan sepihak, tanpa konsultasi menyeluruh, dikhawatirkan bisa membangkitkan rasa ketidakpercayaan yang selama ini coba dipulihkan pasca-Helsinki. Publik Aceh menginginkan keadilan, bukan hanya dalam prosedur, tetapi juga dalam pengakuan sejarah dan kedaulatan.

 

Empat pulau itu, dalam kaca mata sebagian besar masyarakat Aceh, bukan sekadar gugusan tanah di tengah laut. Ia adalah simbol keberadaan, pengorbanan, dan kebanggaan kolektif. Maka tidak mengherankan jika pengalihan ini dianggap sebagai bentuk perampasan yang tak terlihat oleh kasat mata, namun membekas hingga ke jantung masyarakat.

 

Jika pemerintah pusat menginginkan penyelesaian damai dan adil, maka pendekatan dialogis yang melibatkan semua pihak menjadi keharusan. Karena di negeri ini, kedaulatan bukan hanya soal garis koordinat, tetapi juga tentang menghargai sejarah, identitas, dan rasa memiliki yang tumbuh dari generasi ke generasi. Aceh tak menolak perubahan, tetapi menuntut keadilan dalam setiap langkah yang diambil atas namanya.

 

Nurhalim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *