Teungku.? Hoe lon jak jok aneuk lon, bak dayah kiban yang aman dari bully?

 

Oleh: Dr. Tgk. Saiful Bahri Ishak, MA.

Peneliti Dayah Aceh dan Dosen UNISAI Samalanga Kab. Bireuen.

 

Bacaan Lainnya

Indonesia Investigasi 

 

BIREUEN – Setiap kali memasuki tahun ajaran baru, banyak lembaga pendidikan dayah dan pesantren di Aceh mulai membuka pendaftaran santri. Fenomena ini selalu menghadirkan dilema bagi orang tua, khususnya mereka yang ingin memondokkan anak-anaknya. Kegelisahan itu bukan tanpa alasan. Di satu sisi, orang tua khawatir jika anak-anak mereka bersekolah umum tanpa pengawasan intensif, maka pergaulan bebas akan merusak akhlak. Namun di sisi lain, mereka juga mendengar kasus-kasus bully (perundungan) yang terjadi di sejumlah lembaga pendidikan berasrama.

 

Pertanyaan klasik pun muncul di tengah masyarakat: “Tgk, ho lon jak jok aneuk lon, bak dayah kiban yang aman dari bully?” (Tengku, ke dayah seperti apa sebaiknya saya pondokkan anak saya agar aman dari perundungan?). Pertanyaan ini sangat relevan, terutama bagi orang tua yang anaknya baru lulus dari jenjang pendidikan ibtidaiyah (SD atau sederajat), dengan usia yang masih rentan dan belum cukup kuat menjaga diri.

 

Memahami Ragam Corak Dayah dan Pesantren di Aceh

 

Untuk menjawab keresahan orang tua, pertama-tama perlu dipahami bahwa dayah atau pesantren di Aceh memiliki corak yang beragam. Secara umum, dapat dibagi ke dalam tiga kategori:

 

1. Corak Lama (Dayah Salafiyah).

Dayah salafiyah berfokus pada kajian kitab kuning dengan jadwal belajar yang terstruktur 3–4 waktu setiap harinya. Saat ini sebagian dayah salafiyah telah menjalankan program formal melalui jalur mu’adalah dari Kemenag RI, mu’adalah wustha setara dengan SMP, mu’adalah Ulya setara SMA, hingga pendidikan tinggi Ma’had Aly M1 setara Program Sarjana (S1), Ma’had Aly M2 setara Program Magister (S2) dan Ma’had Aly M3 setara Program Doktor (S3). Namun masih ada pula yang murni mempertahankan tradisi klasik. Tujuan utama dayah corak ini adalah mencetak kader ulama, khususnya untuk wilayah Aceh. Santri yang masuk dayah atau pesantren corak pertama ini adalah inilah tempat terakhrir pendidikan mereka, corak ini tujuannya mencetak kader ulama (khusus wilayah aceh).

 

2. Corak Baru (Pesantren Modern).

Pesantren modern adalah model pembelajarannya lebih fokus pendidikan formal (SMP/Mts dan SMA/MA) bahasa dan program2 lain. medel pembelajaran nya dalam kelas dan mencampurkan antara matapelajaran sekolah formal (matematika dll) dengan matapelajaran dayah (fiqh dll) dalam satu waktu. Setelah lulus tingkat SMA/MA, mereka diharuskan keluar untuk melanjutkan studi di Perguruan tunggi atau bekerja dll.

 

3. Corak Semi (Gabungan Salafiyah dan Modern).

Corak ini memadukan kurikulum dayah dengan sekolah formal. Corak Semi lama dan baru yaitu dayah/pesantren yang melaksanakan pendidikan dayah(kurikulum dayah) dan melaksanakan kurikulum sekolah formal SMP/Mts dan SMA/MA, bahkan ada yg melaksanakan pendidikan tinggi dengan cara memisahkan waktu belajar antara matapelajaran dayah dan matapelajaran sekolah formal dan pendidikan tinggi. Dan saat ini ada juga yg sudah melaksanakan program muadalah untuk kurikulum dayah.

 

Ketiga corak ini memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Namun, yang sering luput dari perhatian orang tua adalah soal model pemondokan atau penempatan kamar santri, yang justru sangat berpengaruh terhadap potensi munculnya praktik bully (perundungan).

 

Model Pemondokan Santri Menjadi Faktor Penentu Terjadinya Bully

 

Dari hasil pengamatan terhadap praktik pemondokan santri di Aceh, dapat diidentifikasi tiga model utama:

 

1. Model Pertama: Kamar Campuran Antar-Tingkatan.

Dalam model ini, santri baru ditempatkan bersama kakak-kakak kelas yang sudah lebih dulu mondok. Biasanya, ada ikatan kekerabatan atau asal kampung yang membuat seorang santri senior merasa bertanggung jawab menjaga santri baru. Mereka bukan hanya teman sekamar, tetapi juga berperan sebagai guru privat, perawat ketika sakit, dan pendamping dalam beradaptasi. Logikanya, karena ada figur senior yang jelas bertanggung jawab, pengawasan lebih terjaga dan santri baru jarang menjadi korban bully. Justru santri senior merasa malu jika membiarkan adik bimbingannya diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Model ini banyak ditemukan di dayah salafiyah.

 

2. Model Kedua: Kamar Khusus Santri Baru + Beberapa Kakak Leting.

Santri baru ditempatkan di asrama atau kamar khusus, dengan satu atau dua kakak leting sebagai pendamping. Namun, kakak leting ini tidak selalu berada di kamar, karena kesibukan belajar atau aktivitas lain.

Logikanya, pengawasan tidak konsisten. Akibatnya, interaksi antar-santri baru sendiri bisa memunculkan dominasi satu pihak terhadap yang lain. Celah inilah yang sering menjadi pemicu bully (perundungan), meskipun dalam skala kecil.

 

3. Model Ketiga: Kamar Khusus Santri Baru Tanpa Pendamping Senior.

Semua santri baru ditempatkan dalam satu ruangan tanpa kakak leting yang bertugas menjaga.

Logikanya, kondisi ini paling rawan terjadi bully. Santri baru yang merasa lebih kuat, lebih berani, atau memiliki latar belakang sosial tertentu bisa dengan mudah mendominasi teman-temannya. Tanpa figur pengawas yang lebih matang, interaksi antar-anak sebaya menjadi tidak terkendali.

 

Menjawab Keresahan Orang Tua

 

Berdasarkan analisis tersebut, jelas bahwa model pemondokan santri berpengaruh besar terhadap tingkat keamanan dari bully. Jika orang tua ingin meminimalisir risiko perundungan, maka memilih dayah/pesantren dengan model pemondokan pertama (campuran dengan pendamping senior yang bertanggung jawab) lebih aman.

 

Namun demikian, tidak ada sistem yang sempurna. Orang tua juga perlu memahami bahwa pendidikan berasrama selalu menuntut proses adaptasi. Setiap anak akan menghadapi dinamika sosial yang mendidik kedewasaan mereka. Yang terpenting, pihak dayah/pesantren harus memiliki regulasi jelas, pengawasan yang ketat, dan mekanisme penyelesaian kasus perundungan secara adil.

 

Penutup

 

Kegelisahan orang tua antara pergaulan bebas dan risiko bully adalah dilema nyata. Namun, memilih dayah atau pesantren tetap menjadi salah satu opsi terbaik dalam menjaga akhlak generasi muda Aceh. Orang tua hanya perlu lebih cermat memahami corak lembaga pendidikan, sistem kurikulumnya, dan terutama model pemondokan yang diterapkan.

 

Dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan pihak dayah, disertai keterlibatan ulama serta pengawasan yang bijak, insyaAllah anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang aman, berkah, dan membentuk karakter Islami tanpa harus menjadi korban perundungan.

 

Teuku Fajar Al-Farisyi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *