Siapa Pahlawan yang Sebenarnya? Refleksi Makna, Gelar dan Dialektika Kepahlawanan dalam Ruang Sejarah dan Kesadaran Bangsa  

 Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.

 

Indonesiainvestigasi.com

SETIAP tanggal 10 November, dalam upacara tersebut semua orang berdiri dengan khidmat di bawah langit merah-putih, mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur. Namun, di balik upacara dan slogan, muncul pertanyaan yang lebih mendalam: apa sebenarnya makna pahlawan? Apakah ia hanya sekadar gelar negara, atau ada dimensi moral dan historis yang lebih luas yang harus digali?

Bacaan Lainnya

 

Secara etimologis, kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “phalawan,” yang berarti orang yang berani atau unggul. Dalam bahasa Arab, istilah yang mendekati adalah “mujahid” atau “syahid,” yang mengandung unsur perjuangan dan pengorbanan. Dalam konteks Barat, istilah “hero” sering dikaitkan dengan mitologi dan keberanian luar biasa. Maka, dari sejak awal, konsep pahlawan telah mengandung unsur keberanian, pengorbanan dan keunggulan moral.

 

Namun, teori kepahlawanan tersebut tidaklah tunggal. Dalam filsafat sejarah, Thomas Carlyle menyatakan bahwa, “sejarah dunia adalah sejarah para pahlawan karena banyak para tokoh besar yang mengubah arah zaman.” Sebaliknya, Leo Tolstoy menolak gagasan ini, dan menekankan bahwa, “perubahan sejarah adalah hasil dari gerakan massa, bukan individu.” Maka, apakah pahlawan itu tokoh tunggal atau sebuah representasi yang bersifat kolektif?

 

Dalam konteks Indonesia, gelar “Pahlawan Nasional” diberikan oleh negara melalui Keputusan Presiden, setelah melalui proses panjang yang melibatkan usulan dari masyarakat, verifikasi sejarah dan adanya pertimbangan secara ideologis. Namun, apakah gelar formal ini cukup untuk menyatakan seseorang sebagai pahlawan? Atau justru masih banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang tak pernah masuk dalam daftar resmi?

 

Pertanyaan ini membawa kita pada dimensi material dan politis ketika menyematkan gelar kepahlawanan. Siapa yang berhak menginisiasi? Apakah negara sebagai institusi tunggal, atau masyarakat sebagai pemilik memori kolektif? Dalam banyak kasus, gelar pahlawan diberikan setelah kematian (wafat), ketika narasi telah dibentuk dan konflik telah mereda. Maka, pahlawan sering kali adalah hasil dari rekonstruksi sejarah, bukan sebagai sebuah realitas dalam perjuangan.

 

Selanjutnya, menimbang secara dimensi ideologis. Dalam rezim tertentu, pahlawan bisa dipilih karena kesetiaan pada kekuasaan, bukan karena keberpihakan pada rakyat. Sebaliknya, banyak tokoh yang dianggap subversif di zamannya, justru kemudian diakui sebagai pahlawan setelah rezim berganti. Maka, kepahlawanan adalah medan tarik-menarik antara kekuasaan, sejarah dan kesadaran publik.

 

Dalam Islam, konsep kepahlawanan tidak terlepas dari niat dan keikhlasan. Seorang mujahid sejati bukan hanya berjuang di medan perang, tetapi juga melawan hawa nafsu dan ketidakadilan. Maka, pahlawan dalam perspektif ini bukan hanya yang mengangkat senjata, tetapi juga yang menegakkan keadilan, menyebarkan ilmu dan menjaga amanah.

 

Di Aceh, para tokoh perjuangan selalu jadi sorotan, perbincangan bahkan figur inspiratif dalam masyarakat seperti: Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Tgk. Chik di Tiro, serta masih banyak lagi. Mereka bukan hanya pejuang fisik, tetapi juga menjadi simbol perlawanan spiritual dan kultural. Namun, kemudian bagaimana posisi para guru, ulama, petani, nelayan, serta peran para ayah, para ibu – bahkan mereka penuh waktu mengurusi rumah tangga. Bukankah mereka juga bagian penting yang mempertahankan martabat bangsa dan agama dalam diam? Di sinilah pentingnya memperluas definisi makna pahlawan.

 

Dalam dunia modern, pahlawan tidak selalu hadir dalam wujud heroik. Mereka bisa saja hadir sebagai para guru atau pendidik di pelosok negeri yang mengajar – bahkan tanpa gaji, para relawan yang mengevakuasi korban bencana yang menjadi nyawanya sendiri sebagai taruhan atau para pemuda-pemudi yang menolak korupsi di tengah tekanan. Kepahlawanan saat ini harus dimaknai dalam bentuk keberanian untuk tetap jujur, adil dan peduli di tengah sistem yang sering kali korup, apatis dan kehilangan empati.

 

Namun, kritis terhadap glorifikasi juga sangatlah penting sebagai alat untuk menguji bahwa, tidak semua yang disebut sebagai pahlawan adalah benar-benar layak. Ada yang dibungkus dengan narasi indah, padahal menyimpan luka sejarah kelam masa lalu yang menyakitkan. Maka, penting bagi kita untuk membaca kembali sejarah secara kritis, menggali arsip, mendengar suara korban dan tidak menelan mentah-mentah narasi yang dianggap resmi.

 

Di lain sisi, masyarakat juga punya peran penting dalam membentuk siapa yang dianggap pahlawan. Melalui cerita rakyat, lagu, mural dan media sosial. Karena mereka membangun ingatan secara kolektif. Maka, pahlawan bukan hanya produk yang diciptakan oleh negara, tetapi juga merupakan hasil dari konstruksi kultural yang hidup dalam keseharian.

 

Dalam konteks pendidikan, perlu diajarkan bahwa menjadi pahlawan bukan soal mati di medan perang, tetapi hidup dengan prinsip. Bahwa keberanian bukan hanya soal melawan musuh, tetapi juga melawan ketidakadilan dalam diri sendiri. Bahwa pahlawan bukan mitos, tetapi manusia biasa yang memilih untuk tidak menyerah.

 

Kepahlawanan juga harus dibaca dalam konteks zaman. Di era digital, tantangan masyarakat bukan lagi dalam bentuk kolonialisme secara fisik, tetapi penjajahan dalam bentuk disinformasi, krisis moral dan degradasi lingkungan yang sudah diambang menuju kehancuran. Maka, pahlawan hari ini adalah mereka yang menjaga prinsip integritas, berjuang merawat bumi, dan membela kebenaran di ruang-ruang sunyi.

 

Pertanyaan “siapa pahlawan kita?” merupakan sebuah pertanyaan yang bukan untuk dijawab hanya sekali, tetapi untuk terus direnungkan. Karena setiap zaman akan melahirkan tantangan baru dan disetiap tantangan membutuhkan keberanian baru. Maka, tugas ini harus dikerjakan secara bersama-sama (kolektif) secara bijak, bukan hanya mengenang jasa para pahlawan sebelumnya, tetapi bagaimana kemudian menjadi bagian dari mata rantai kepahlawanan itu sendiri.

 

Para pahlawan sejati adalah mereka yang tidak pernah menyebut dirinya pahlawan. Mereka yang bekerja dalam senyap, terus berjuang tanpa pamrih dan tetap setia pada nurani. Mereka adalah sosok yang tidak menunggu disematkan gelar, tetapi terus-menerus bergerak karena yakin pada rasa cinta terhadap kebenaran, kemanusiaan dan nilai-nilai luhur. Maka, mari bertanya kembali pada diri sendiri: apakah sudah cukup layak untuk menyebut mereka pahlawan dan apakah yang sedang dikerjakan, diusahakan, diamalkan, serta dikaryakan sebagai bentuk sebuah pengabdian sedang menuju ke sana?

 

M12H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *