Penolakan Menguat: Invasi Sawit PT Laot Bangko Dituding Langgar Hukum dan Rugikan Rakyat

 

Indonesiainvestigasi.com

 

SUBULUSSALAM – Gelombang penolakan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) PT Laot Bangko di Kota Subulussalam, Aceh, terus membesar. Komunitas masyarakat adat Kemukiman Penanggalan, warga Pertaki Jontor, hingga komunitas transmigrasi di SKPC kini satu suara: menolak ekspansi dan praktik HGU PT Laot Bangko yang dinilai bermasalah baik secara prosedural maupun substansial.(10/07).

Bacaan Lainnya

 

Aksi terbaru datang dari Kecamatan Sultan Daulat. Puluhan warga Kampong Batu Napal memprotes keras pembangunan portal oleh pihak perusahaan yang membentang di akses jalan menuju kebun masyarakat. Warga menilai keberadaan portal itu adalah bentuk penguasaan ruang hidup yang semena-mena—menghalangi jalur yang selama ini digunakan masyarakat untuk bertani dan berkebun.

 

“Kami sudah bertani di sini turun-temurun. Ini jalan umum. Tidak pantas diblokir begitu saja oleh perusahaan,” ujar Agus Sinambela, salah satu warga yang terdampak, Kamis (10/7/2025).

 

Mahmudi, tokoh masyarakat lainnya, menambahkan bahwa pihak Pemko Subulussalam telah mengeluarkan surat resmi melalui Sekretaris Daerah pada 1 Juli 2025, yang meminta PT Laot Bangko membuka kembali akses jalan bagi masyarakat. Surat tersebut mengacu pada Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menegaskan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.

Namun hingga kini, tuntutan tersebut belum ditindaklanjuti oleh perusahaan. Pihak PT Laot Bangko berdalih bahwa portal tidak membatasi akses masyarakat. Pernyataan ini ditolak warga yang merasa langsung terdampak secara ekonomi dan mobilitas.

 

“Kalau memang tidak membatasi, kenapa portal dibuat di tengah jalan umum yang kami lewati setiap hari ke kebun?” tegas Agus.

 

HGU Dipersoalkan: Dari Prosedural ke Substansial

 

Kritik terhadap HGU PT Laot Bangko tidak hanya berhenti pada portal. Anton Tinendung, Direktur LSM Suara Putra Atjeh, menyebut ada banyak kejanggalan pada status dan operasional perusahaan tersebut. Hasil investigasi LSM menunjukkan bahwa penguasaan lahan oleh PT Laot Bangko telah mencaplok wilayah adat di Penanggalan dan lahan masyarakat transmigrasi.

 

“Ini bukan sekadar soal portal. Ini soal pelanggaran sistemik terhadap hukum dan hak rakyat. HGU PT Laot Bangko tidak menjalankan amanah UU Perkebunan, tidak patuh terhadap skema plasma 20% bagi masyarakat, dan gagal memenuhi kewajiban sosialnya,” tegas Anton.

 

Tuntutan Meningkat: Cabut HGU, Kembalikan Hak Rakyat

 

LSM Suara Putra Atjeh dan masyarakat kini mendesak Gubernur Aceh dan Kementerian ATR/BPN untuk segera mencabut HGU PT Laot Bangko. Mereka menilai keberadaan perusahaan ini telah menyebabkan konflik sosial, kerugian ekonomi warga, serta mencederai prinsip keadilan agraria yang diamanatkan konstitusi.

 

“Kami minta kepada Gubernur Aceh, jangan tutup mata. Ini bukan sekadar protes, ini adalah suara rakyat yang menolak perampasan ruang hidup atas nama investasi,” ujar Anton menegaskan.

 

Penolakan terhadap HGU PT Laot Bangko kini tak lagi bersifat lokal. Narasi perlawanan telah merambat ke ruang publik Subulussalam yang lebih luas. Jika tak segera ditangani secara serius, konflik ini berpotensi meluas dan memperuncing krisis kepercayaan antara rakyat, pemerintah, dan korporasi.// Jusmadi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *