Ditulis/disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
(Alumni Dayah Butanul Ulum Langsa – Alumni Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum FSH UIN Ar-Raniry Banda Aceh – Juga Pengajar/guru di Dayah Lampoh Beut Aceh Besar)
Indonesiainvestigasi.com
DALAM dunia pendidikan yang terus bergerak mengikuti arus zaman, pemahaman tentang teknologi, informasi, dan komunikasi sering kali terjebak dalam definisi sempit. Banyak yang menganggap teknologi sebatas mesin canggih atau perangkat elektronik mutakhir. Padahal, teknologi adalah segala bentuk alat dan metode yang memudahkan kehidupan manusia, termasuk dalam proses belajar mengajar.
Pengalaman membimbing peserta didik untuk memahami makna sejati teknologi menjadi momen reflektif yang unik. Ketika mereka menyadari bahwa sapu, papan tulis, buku, spidol, bahkan pakaian adalah bagian dari teknologi, terjadi pergeseran cara pandang yang mendalam. Teknologi tidak lagi eksklusif milik dunia digital, melainkan bagian dari keseharian yang sering kali luput dari perhatian.
Dalam proses pembelajaran, kami mengelompokkan teknologi menjadi dua: teknologi lama dan teknologi baru. Teknologi kuno seperti kapur tulis dan papan kayu tetap memiliki nilai, sementara teknologi canggih seperti tablet dan proyektor membawa efisiensi. Keduanya memiliki tempat dan fungsi masing-masing dalam ekosistem pendidikan.
Pemahaman ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana teknologi berperan sebagai jembatan antara kebutuhan manusia dan solusi praktis. Peserta didik mulai melihat bahwa teknologi bukan hanya benda, tetapi juga cara berpikir dan beradaptasi terhadap tantangan.
Informasi, sebagai elemen kedua dalam pembahasan, menjadi bahan bakar utama dalam proses pendidikan. Ia bukan sekadar data, melainkan pengetahuan yang dapat diakses, disimpan, dan disampaikan untuk mengatasi masalah atau meningkatkan kualitas hidup.
Dalam kelas, kami belajar bahwa informasi yang tidak terdokumentasi akan mudah hilang. Maka, proses pencatatan, pengarsipan, dan penyebaran informasi menjadi bagian penting dari literasi digital dan literasi konvensional.
Peserta didik diajak untuk memahami bahwa informasi memiliki nilai strategis. Ia dapat menjadi alat perlindungan dari bahaya, atau menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan hal-hal baru. Maka, kemampuan memilah dan mengolah informasi menjadi keterampilan yang wajib dimiliki.
Komunikasi, sebagai elemen ketiga, menjadi jantung dari interaksi manusia. Ia bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang menerima umpan balik dan membangun makna bersama. Dalam pendidikan, komunikasi adalah fondasi dari proses belajar yang efektif.
Kami membedakan antara komunikasi dan interaksi. Komunikasi bersifat informatif, sementara interaksi melibatkan komunikasi, informasi, dan timbal balik yang nyata. Interaksi menciptakan ruang emosional yang lebih dalam dan bermakna.
Dalam praktiknya, peserta didik menyadari bahwa komunikasi daring memiliki keterbatasan. Meskipun informasi dapat disampaikan, emosi tidak selalu tersalurkan dengan utuh. Ada jarak yang tidak bisa dijembatani oleh layar.
Sebaliknya, komunikasi luring memungkinkan ekspresi emosi yang lebih kaya. Tatap muka membuka ruang untuk bahasa tubuh, intonasi, dan kontak mata yang memperkuat makna pesan. Di sinilah silaturrahmi tumbuh dan mengakar.
Media sosial, meskipun menjadi ruang komunikasi informasi, tidak dapat sepenuhnya menggantikan ruang interaksi nyata. Peserta didik mulai memahami bahwa interaksi digital memiliki batas dalam membangun kedekatan emosional.
Dalam diskusi kelas, muncul kesadaran bahwa teknologi komunikasi harus digunakan secara bijak. Ia dapat memperluas jangkauan informasi, tetapi tidak boleh menggantikan nilai-nilai kemanusiaan dalam berinteraksi.
Kami mengeksplorasi bagaimana komunikasi daring sering kali menimbulkan miskomunikasi. Tanpa ekspresi wajah atau nada suara, pesan bisa disalahartikan. Maka, penting untuk mengembangkan etika komunikasi digital yang berempati.
Pendidikan menjadi ruang strategis untuk membentuk pemahaman ini. Melalui pengalaman langsung, peserta didik belajar bahwa teknologi, informasi, dan komunikasi bukan entitas terpisah, melainkan satu kesatuan yang saling menguatkan.
Dalam proses pembelajaran, kami menggunakan teknologi lama dan baru secara bersamaan. Buku dan papan tulis tetap digunakan, berdampingan dengan aplikasi pembelajaran dan platform digital. Ini menciptakan keseimbangan antara tradisi dan inovasi.
Informasi yang kami olah tidak hanya berasal dari internet, tetapi juga dari pengalaman hidup, cerita lokal, dan interaksi sosial. Ini memperkaya perspektif peserta didik dan menghubungkan mereka dengan konteks budaya mereka.
Komunikasi yang kami bangun tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di luar kelas, melalui kegiatan kelompok, diskusi komunitas, dan proyek kolaboratif. Ini memperkuat ikatan sosial dan membentuk karakter peserta didik.
Pada akhirnya, peserta didik memahami bahwa teknologi bukan tujuan, melainkan alat. Informasi bukan sekadar data, melainkan pengetahuan yang hidup. Komunikasi bukan hanya kata-kata, melainkan jalinan emosi dan makna.
Opini ini lahir dari pengalaman nyata di ruang pendidikan, di mana teknologi, informasi, dan komunikasi menjadi sarana untuk membentuk manusia yang utuh, tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peka secara emosional dan sosial.
Nurhalim