Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,
Indonesia Investigasi
Aceh, dengan julukan Serambi Mekah, memiliki tradisi dan kearifan lokal yang kuat dalam menjaga kesucian bulan Ramadhan. Nilai-nilai ini telah menjadi identitas masyarakat Aceh yang melekat pada budaya dan agama. Namun, beberapa fenomena yang terjadi selama Ramadhan terkadang mereduksi nilai-nilai tersebut, sehingga diperlukan upaya bersama untuk menjaga kemuliaan bulan suci ini agar tetap sesuai dengan tradisi dan ajaran Islam.
Salah satu kearifan lokal yang menjadi ciri khas Aceh adalah penguatan syiar agama melalui komunitas masjid dan meunasah. Ramadhan seharusnya menjadi momen untuk menghidupkan kembali fungsi-fungsi ini sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Namun, fenomena aktivitas hiburan yang tidak sesuai, seperti karaoke malam hari, dapat mengurangi kesakralan suasana Ramadhan. Pemerintah dan masyarakat perlu memperkuat pengawasan dan mendorong kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti tadarus bersama atau ceramah keagamaan.
Olahraga malam seperti jogging setelah tarawih juga menjadi tren yang berkembang, tetapi ini perlu dievaluasi dalam kerangka budaya Aceh yang menekankan kekhusyukan Ramadhan. Olahraga sebenarnya baik untuk kesehatan, tetapi waktu pelaksanaannya dapat diarahkan pada pagi hari atau menjelang berbuka agar tidak mengganggu ritme ibadah dan istirahat malam.
Di sisi lain, perilaku konsumtif masyarakat saat berbuka puasa juga perlu mendapatkan perhatian. Kearifan lokal Aceh telah lama mengajarkan hidup sederhana dan berbagi, sebagaimana terlihat dalam tradisi kenduri atau memasak kuah beulangong bersama. Fenomena pemborosan dalam membeli makanan di pasar Ramadan bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan ini. Program edukasi yang mengangkat pentingnya hidup hemat dan berbagi dapat menjadi solusi untuk mengatasi perilaku konsumtif.
Kurangnya kepedulian sosial juga menjadi tantangan. Padahal, dalam tradisi masyarakat Aceh, Ramadan adalah waktu untuk memperkuat solidaritas, seperti melalui infaq, sedekah, dan zakat fitrah. Pemerintah dapat memfasilitasi gerakan sosial berbasis gampong yang lebih inklusif, yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk membantu mereka yang membutuhkan, sesuai dengan nilai gotong royong yang diwariskan secara turun-temurun.
Pelanggaran syariat, seperti aktivitas yang bertentangan dengan norma agama, juga menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks Aceh yang berlandaskan syariat, pelanggaran semacam ini tidak hanya merusak nilai agama, tetapi juga mencoreng identitas daerah. Pendekatan yang lebih humanis, melalui edukasi dan penguatan peran ulama serta tokoh adat, dapat menjadi cara efektif untuk mengatasi masalah ini.
Terakhir, ketidakteraturan dalam jadwal ibadah, seperti kurangnya partisipasi dalam tadarus atau tarawih, juga perlu dibenahi. Meunasah dan masjid harus dihidupkan kembali sebagai pusat spiritual, seperti pada zaman dahulu, ketika mereka tidak hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga tempat belajar dan berbagi. Pemerintah bersama ulama dapat mengadakan program Ramadan berbasis komunitas, seperti tadarus Al-Qur’an terpadu dan kajian fikih Ramadhan, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Menjaga keberkahan Ramadhan di Aceh adalah tentang memelihara kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menekankan syariat, gotong royong, dan kesederhanaan adalah aset berharga yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Dengan mengatasi fenomena-fenomena yang mengurangi nilai Ramadhan, Aceh dapat mempertahankan identitasnya sebagai Serambi Mekah yang menjadi teladan dalam menjalani bulan suci dengan penuh kekhusyukan dan keberkahan.
Dahrul