Membongkar Wacana Badan Khusus Bencana: Antara Urgensi dan Ilusi Tata Kelola

Oleh : Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.

PASCA bencana gempa dan tsunami dahsyat tahun 2004 (dua dekade) yang lalu, kini Aceh kembali diguncang bencana. Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah pada akhir november 2025 bukan hanya menyisakan lumpur dan puing, tetapi juga membuka kembali luka lama, ketidaksiapan sistemik saat penanggulannya, respons birokratis yang terkesan lamban serta masyarakat yang terdampak merasakan absennya negara dalam fase-fase kritis, walaupun kemudian negara telah hadir sebagaimana disampaikan dalam bentuk klarifikasi atau semacamnya di berbagai media serta berita. Di tengah kekacauan tersebut, muncul sebuah wacana yang mengemuka di media-media, yaitu: “pembentukan badan khusus penanganan bencana Aceh.” Sebuah ide yang terdengar sangatlah solutif, namun harus diuji dengan banyak pertanyaan yang mendasar agar mendapatkan jawaban secara konkret demi kemaslahatan masyarakat yang menjadi korban serta yang berdampak.

Secara deskriptif, gagasan ini muncul dengan kenyataan bahwa, “struktur penanganan bencana di Aceh saat ini dinilai tidak cukup tanggap.” BPBD, sebagai garda terdepan, kerap terjebak dalam labirin koordinasi dan keterbatasan anggaran. Pemerintah pusat pun tampak gamang, terjebak dalam prosedur administratif yang tak mengenal urgensi. Maka, badan khusus ini diusulkan sebagai jalan keluar untuk menjembatani kekosongan struktural, berharap dengan terbentuknya badan tersebut akan melahirkan sebuah entitas yang memiliki kewenangan lebih luas, adanya fleksibilitas anggaran dan memikiki kemampuan eksekusi lebih cepat. Namun, secara analitis, kita perlu bertanya: apakah benar masalah utamanya adalah ketiadaan lembaga? Ataukah justru lemahnya “political will,” dengan minimnya akuntabilitas dan budaya birokrasi yang lebih sibuk mengurus dokumen daripada nyawa?

“Dalam konteks Aceh hari ini, yang masih dibayangi oleh fragmentasi elite, ketegangan pusat-daerah dan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi, pembentukan badan baru bukan jaminan efektivitas.”

Bacaan Lainnya

Pengalaman BRR NAD–Nias pascatsunami 2004 kerap dijadikan rujukan. Memang, lembaga itu berhasil membangun kembali infrastruktur dan perumahan dalam waktu yang relatif singkat. Tapi keberhasilan itu tidak terlepas dari konteks luar biasa yang berdatangan serta adanya kekuatan dukungan dari dunia internasional dengan skala besar, kepemimpinan yang relatif independen dan momentum politik yang mendesak. Menyalin model BRR ke dalam konteks hari ini tanpa menyalin prasyarat keberhasilannya merupakan sebuah bentuk simplifikasi yang sangat berbahaya.

Selanjutnya, pembentukan badan khusus ini dapat berisiko akan menjadi instrumen politik baru. Di tengah menurunnya dana otonomi khusus dan meningkatnya kompetisi elite lokal, lembaga semacam ini bisa menjadi “kendaraan baru” untuk mengakses anggaran besar. Jika tidak dirancang dengan prinsip transparansi dan partisipasi, badan ini bisa berubah menjadi arena baru bagi praktik rente dan patronase.

Dari sisi desain kelembagaan, badan khusus ini idealnya memiliki struktur yang inklusif karena melibatkan unsur pemerintah pusat, pemerintah Aceh, akademisi, masyarakat sipil dan lembaga adat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa, inklusivitas seringkali hanya menjadi jargon. Dalam praktiknya, keputusan tetap didominasi oleh segelintir elite, sementara suara masyarakat terdampak tenggelam bersama arus banjir. Aspek lain yang tak kalah penting adalah pengelolaan dana. Badan khusus akan mengelola dana besar dari APBN, APBA, hingga bantuan luar negeri. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan independen, potensi penyalahgunaan sangat besar. Audit publik, pelibatan media, dan transparansi berbasis data terbuka harus menjadi syarat mutlak, bukan sebagai pelengkap.

Dari sisi sosial, pembentukan badan khusus harus menjawab kebutuhan warga sebagai korban yang terdampak, bukan hanya membangun ulang infrastruktur yang rusak dan hilang. Trauma, kehilangan mata pencaharian dan kerentanan sosial pascabencana seringkali luput dari perhatian. Jika badan ini hanya fokus pada pembangunan fisik, maka ia gagal memahami esensi pemulihan yang holistik.

Secara ekologis, badan ini juga harus mampu mengintegrasikan perspektif keberlanjutan. Bencana hidrometeorologi yang makin sering terjadi bukan semata-mata karena “takdir alam”, tetapi juga akibat kerusakan lingkungan yang sistemik. Maka, badan ini harus punya mandat untuk meninjau ulang tata ruang, menertibkan izin tambang dan perkebunan, serta memulihkan ekosistem secara menyeluruh. Namun, semua itu hanya mungkin terjadi jika ada kemauan politik yang tulus. Jika pembentukan badan khusus hanya menjadi respons reaktif, tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan sistem yang ada, maka kita hanya mengulang pola lama: membentuk lembaga baru untuk menutupi kegagalan lama, bukan untuk memperbaikinya.

Dalam kerangka otonomi khusus Aceh, pembentukan badan ini bisa menjadi momentum untuk menegaskan kedaulatan pengelolaan bencana secara lokal. Tapi otonomi tanpa kapasitas dan integritas hanya akan menjadi ilusi. Maka, penguatan kapasitas lokal, pelibatan gampong dan revitalisasi peran adat harus menjadi bagian dari desain kelembagaan. Kita juga perlu menyoroti peran masyarakat sipil. Tanpa tekanan publik yang kuat, badan ini bisa dengan mudah disandera oleh kepentingan elite. Oleh karena itu, masyarakat, media dan akademisi harus menjadi mitra kritis yang mengawal sejak tahap perencanaan, bukan hanya menjadi penonton pasif saat lembaga ini mulai bekerja.

Efektivitas badan khusus bukan ditentukan oleh nama atau struktur, tetapi oleh nilai-nilai yang melandasinya: keadilan, partisipasi, transparansi dan keberpihakan pada korban. Tanpa itu, badan ini hanya akan menjadi simbol baru dari kegagalan lama—megah di atas kertas, tapi lumpuh di lapangan.

Aceh tidak butuh lebih banyak lembaga. Aceh butuh lebih banyak keberanian untuk berubah. Jika badan khusus ini lahir dari keberanian itu, maka ia layak didukung. Tapi jika ia hanya lahir dari kalkulasi politik dan hasrat anggaran, maka lebih baik ia gugur sebelum tumbuh. Karena bencana sejati bukan hanya banjir atau gempa. Bencana sejati adalah ketika penderitaan rakyat dijadikan proyek dan ketika negara hadir hanya untuk menandatangani kontrak, bukan untuk menyeka air mata.

Banda Aceh, 23 Desember 2025

M12H

 

 

 

 

Pos terkait