Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Indonesia Investigasi
Keempat orang ini masih berkiprah di blantika perpolitikan Indonesia. Secara langsung maupun tidak secara langsung, cawe-cawe secara terbuka maupun cawe-cawe secara terselubung, diakui maupun tidak diakui secara terus terang. Tapi yang jelas eksistensi mereka di dunia politik terus terang terang terus.
Prabowo jelas sebagai Presiden RI sekaligus Ketum Partai Gerindra. Sedangkan Jokowi bestie-nya Prabowo sekaligus ayah dari Wapres RI Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep yang Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merangkap ayah mertua dari Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.
SBY adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat sekaligus ayah dari AHY yang Ketum Partai Demokrat sekaligus Menteri Koordinator di kabinet Merah Putih. Dan Megawati Soekarnoputri adalah Ketum PDI Perjuangan sekaligus ibu dari Puan Maharani yang Ketua DPR.
Berikut sebuah sketsa tentang transisi dan relasi kekuasaan di Indonesia semasa keempat tokoh politik itu. Rentang waktunya dari tahun 2004 sampai tahun 2024, dua puluh tahun. Bahkan perkiraaan 2025 ke depan (onwards). Sekedar sketsa, gambaran ringkas.
Kita mulai dari Megawati yang naik jadi presiden menggantikan Gus Dur. Transisi kekuasaan yang terjadi sama sekali tidak mulus, bahkan panas. Gus Dur naik ke tampuk kepemimpinan nasional lewat sidang MPR. Pilpres saat itu masih diselenggarakan di sidang MPR.
Sekitar 4 bulan setelah pemilu legislatif, MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden melalui pemungutan suara dua tahap, yaitu pada tanggal 20 Oktober 1999 untuk memilih Presiden dan tanggal 21 Oktober 1999 untuk memilih Wakil Presiden. Gus Dur (Presiden) dan Megawati (Wapres) masing-masing dilantik secara langsung pada tanggal pemungutan suara.
Adalah fakta sejarah perpolitikan di Indonesia bahwa PDIP sebagai partai yang memenangkan pemilu saat itu tidak mampu melobi parlemen untuk mendudukan Megawati di kursi presiden, cuma dapat posisi wakil presiden. Padahal dari pemilu yang diselenggarakan pada 7 Juni 1999 (total ada 462 kursi DPR kala itu) diperoleh hasil:
PDIP dapat 153 kursi atau 33,12%, lalu Golkar dapat 120 kursi atau 25,97%, kemudian PPP dapat 58 kursi atau 12,55%, diikuti PKB yang dapat 51 kursi atau 11,03%, PAN dapat 34 kursi atau 7,36%, PBB dapat 13 kursi atau 2,81%, PKS (waktu itu namanya Partai Keadilan) dapat 7 kursi atau 1,51% dan Partai Nahdlatul Ummat dapat 5 kursi atau 1,08%, PDKB dapat 5 kursi atau 1,08%, PKPI (atau bernama PKP saat itu) dapat 4 kursi atau 0,87%, Partai Demokrasi Indonesia dapat 2 kursi atau 0,43%.
Lalu yang dapat masing-masing 1 kursi atau 0,22% adalah Partai Persatuan, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Daulat Rakyat, Partai Syarikat Islam Indonesia, PNI Front Marhaenis, Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia, PNI Massa Marhaen, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Kebangkitan Ummat, dan Partai Katolik Demokrat.
Di pemilu 1999 Fraksi TNI-Polri ada jatah 38 kursi untuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Total 500 kursi MPR, terdiri dari 462 kursi DPR dan 38 kursi untuk fraksi TNI-Polri.
Dalam dinamika politik selanjutnya, Megawati yang bersekutu dengan poros tengah pada waktu itu berhasil mendongkel Gus Dur lewat pemakzulan (impeachment) di sidang MPR. Ditengarai ada “Operasi Semut Merah” seperti terungkap dari dokumen yang bocor dari kantor DPP Golkar di Slipi. Bocor ke tempat sampah, dokumen-dokumen itu rencananya mau dijual kiloan oleh petugas kebersihan di DPP Golkar.
Ditemukan secara tak sengaja dokumen-dokumen itu akhirnya dikumpulkan dan disusun oleh wartawan Gatra, Virdika Rizky Utama, lalu diterbitkan jadi sebuah buku berjudul “Menjerat Gus Dur”. Sempat heboh, diceritakan bahwa wacana untuk memakzulkan presiden mulai terdengar sejak Gus Dur memecat Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla.
Keputusan tersebut mengakibatkan dua partai dengan suara terbanyak yaitu PDIP dan Golkar marah kepada Gus Dur. Kegaduhan politik tak bisa terbendung lagi tatkala Gus Dur akhirnya mencopot Kapolri Suroyo Bimantoro dan kemudian menunjuk Komjen Chaeruddin Ismail sebagai pjs Kapolri.
Masalahnya adalah pencopotan tersebut dilakukan secara sepihak, tanpa konsultasi dengan MPR yang saat itu merupakan lembaga tertinggi negara atau lembaga yang memiliki kuasa untuk memilih serta menurunkan presiden.
Gesekan antara Gus Dur dengan MPR semakin tajam ketika ia mengeluarkan Dekrit Presiden pada dini hari, Senin 23 Juli 2001 pukul 1.10 WIB di Istana Negara. Ada tiga poin utama dari dekrit tersebut: pertama membekukan DPR/MPR, kedua membubarkan Golkar, serta ketiga mempercepat pelaksanaan pemilu.
Terhadap dekrit itu parlemen bereaksi. Pada pukul 2.45 WIB, Ketua MPR Amien Rais menggelar konferensi pers sebagai bentuk penolakan terhadap dekrit sekaligus menyatakan apa yang dilakukan Gus Dur merupakan tindakan yang tidak konstitusional.
Serentetan peristiwa politik masa itu berujung pada Sidang Istimewa MPR yang dipercepat, awalnya diagendakan pada 1 Agustus 2001 diubah menjadi 23 Juli 2001. Kekuatan politik yang semula mengusung Gus Dur sebagai Presiden berubah haluan menjadi pihak yang sangat ingin melengserkannya.
Bahkan, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai mesin politik yang didirikan oleh Gus Dur sekali pun tidak kompak dalam menanggapi Sidang Istimewa MPR. Muncul faksi PKB yang mendukung pemakzulan Gus Dur.
Akhirnya Gus Dur digantikan Megawati yang dilantik jadi presiden pada tanggal 23 Juli 2001. Megawati menjabat sampai akhir masa kepresidenannya pada 20 Oktober 2004 atau sekitar tiga tahun tiga bulan. Wapres-nya adalah Hamzah Haz dari PPP. Peralihan kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati tidaklah mulus, bahkan panas. Ada yang disebut “Operasi Semut Merah” untuk menjerat Gus Dur.
Sekedar cerita latar belakang, putri proklamator ini menikah dengan Letnan Satu Penerbang Surindro Supjarso pada 1 Juni 1968 di Jakarta Selatan. Dari pernikahannya ini terlahir Mohammad Rizki Pratama dan Muhammad Prananda Prabowo yang sekarang jadi petinggi PDIP. Jabatan resmi Prananda Prabowo adalah Ketua Bidang UMKM, Ekonomi Kreatif dan Digital PDIP sekaligus Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi (Situation Room) DPP PDIP.
Pernikahan dengan Lettu Surindro ini ternyata tak berjalan lama, sebab ketika Megawati sedang mengandung Prananda, kabar duka datang dari Pesawat Skyvan yang dipiloti Lettu Surindro dengan tujuh awak dilaporkan hilang di perairan Biak pada 22 Januari 1970.
Lalu pada pada 27 Juni 1972 Mega menikah lagi dengan Hassan Gamal Ahmad Hassan, ia seorang diplomat Mesir, tapi kurang dari tiga bulan pernikahan itu dibatalkan oleh Pengadilan Agama. Akhirnya Mega menikah dengan Taufiq Kiemas pada 25 Maret 1973. Taufiq Kiemas wafat pada 8 Juni 2013. Dari pernikahan ini lahir Puan Maharani yang sekarang jadi Ketua DPR.
Pemerintahan Presiden Megawati dikenal luas karena kebijakan privatisasi BUMN. Kebijakan ini dilakukannya demi mempertahankan BUMN dari intervensi dan pembayaran utang publik. Sekaligus upaya memperbaiki efisiensi serta daya saing BUMN. Semuanya dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dari sektor swasta.
Tercatat sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Bank Negara Indonesia, Kimia Farma dan yang paling kontroversial adalah Indosat yang diprivatisasi. Menurut pengakuannya, upaya privatisasi ini berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,1% dan menekan inflasi sebesar 5,06%. Namun, di sisi lain, penjualan asset ini juga menuai kritik dan Megawati dituduh sebagai agen neolib.
Presiden Megawati berencana ikut pilpres di tahun 2004, waktu itu bersama calon wakil presidennya adalah Hasyim Muzadi, ketua umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisais islam terbesar di Indonesia. Kita tahu bahwa pasangan calon ini dikalahkan secara telak oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di putaran kedua, dengan selisih 61% berbanding 39% pada 20 September 2004.
Mega rupanya masih sakit hati terhadap SBY, sehingga ia tidak mau menghadiri pelantikan presiden SBY dan tidak pernah mengucapkan selamat kepadanya sampai sekarang. SBY dari Partai Demokrat waktu itu berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) dari Golkar. Menurut cerita, waktu itu Megawati pernahj menanyakan pada SBY apakah akan ikut dalam kontestasi pilpres, dan dijawab tidak. Cerita selanjutnya kita sudah tahu bersama, SBY menang dalam dua kali pilpres.
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada periode 1999–2004 mengamendemen UUD 1945 yang memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. SBY jadi Presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. SBY dicatat sebagai presiden pertama yang dipilih rakyat secara langsung.
Untuk masa jabatan yang kedua (2004-2009) SBY berpasangan dengan Prof. Boediono. Di pilpres 2004 SBY berhadapan lagi dengan Megawati (PDIP) yang kali itu berpasangan dengan Prabowo Subianto (Gerindra). Paslon ini dikenal dengan sebutan paslon Mega-Pro.
Sebagai catatan, sebetulnya pada 9 Mei 2008, Partai Gerindra menyatakan keinginannya untuk mencalonkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu 2009 saat mereka menyerahkan berkas pendaftaran untuk ikut Pemilu 2009 pada KPU.
Namun terjadi proses tawar menawar yang alot antara PDIP dan Gerindra yang akhirnya membuat Prabowo Subianto mengalah dan bersedia jadi calon wakil presidennya Megawati. Lalu keduanya, Prabowo dan Megawati, menandatangani apa yang disebut Perjanjian Batu Tulis. Perjanjian itu menyatakan bahwa:
Pertama, PDIP dan Gerindra mencalonkan Megawati sebagai calon presiden dan Prabowo sebagai calon wakil presiden dalam pemilu 2009. Kedua, bila terpilih, Prabowo dapat mengendalikan program dan kebijakan ekonomi Indonesia yang “berdasarkan asas berdiri di kaki sendiri, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian nasional di bidang kebudayaan dalam kerangka sistem presidensial”.
Ketiga, Prabowo dapat menentukan orang yang akan menjadi Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan.
Keempat, pemerintah yang dibentuk akan mendukung program kerakyatan PDIP dan 8 program aksi Gerindra untuk kemakmuran rakyat. Kelima, pendanaan untuk pemilu 2009 akan ditanggung 50% oleh Megawati dan 50% oleh Prabowo. Keenam, Megawati mendukung pencalonan Prabowo sebagai calon presiden pada pemilu 2014.
Kita bisa baca catatan sejarah politik kontemporer bahwa paslon Mega-Pro ternyata cuma dapat 27% suara dan kalah dari paslon SBY-Boediono yang diumumkan pada 25 Juli 2009. Faktanya Megawati dan juga Prabowo tidak hadir saat pengumuman penghitungan resmi tersebut padahal UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mengamanatkan setiap pasangan calon untuk hadir dalam menentukan hasil resmi pemilihan presiden.
Era Partai Demokrat (SBY) ditandai dengan dipenjaranya Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Tidak ada yang kebal hukum, walaupun ia seorang Ketua Umum Parpol berkuasa saat itu. Ia divonis Pengadilan Tipikor penjara 8 tahun pada 2014.
Event yang tidak terlupakan juga adalah Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2013. Konvensi untuk menentukan siapa yang akan diusung oleh Partai Demokrat dalam pemilihan umum Presiden Indonesia 2014.
Lalu dibentuklah Komite Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat pada tanggal 11 Agustus 2013. Waktu itu ada 11 kandidat, mereka adalah: Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo dan Sinyo Harry Sarundajang.
Pada tanggal 16 Mei 2014, Partai Demokrat mengumumkan bahwa konvensi ini telah dimenangkan oleh Dahlan Iskan. Menurut Maftuh Basyuni (Ketua Panitia Konvensi) pemenang dipilih berdasarkan hasil survey elektabilitas para peserta. Namun Dahlan Iskan tidak jadi diusung oleh Partai Demokrat karena partai ini gagal memperoleh cukup suara untuk dapat mengusung calon sendiri (minimal 20% kursi parlemen atau 25% suara rakyat).
Meskipun pada awalnya bersikap “netral”, Partai Demokrat pada akhirnya memutuskan untuk mendukung paslon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Gerindra-PAN) pada tanggal 30 Juni 2014 untuk menghadapi paslon Jokowi-JK (PDIP-Golkar).
Transisi SBY ke Jokowi secara politis-prosedural berjalan tertib dan lancar, namun tim kerja Jokowi-JK mesti memulai pemerintahannya dengan berjibaku. Transisi dari segi manajerial menghadapi banyak tantangan. Semua tahu itu.
Masa kepresidenan Jokowi 2014-2024, selama dua periode. Periode pertama (2014-2019) berpasangan dengan JK, dan periode kedua 2019-2024 berpasangan dengan Prof. Ma’ruf Amin. Setelah berhadapan dengan Prabowo-Hatta Rajasa di periode pertama, di periode kedua kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Di periode pertama pemerintahannya, Jokowi sempat digerecoki kelompok fundamentalis 212. Juga di DPR yang dalam periode 2014-2019 dijabat oleh paket pimpinan yang diusung oleh Koalisi Merah Putih yaitu Setya Novanto (Golkar) sebagai ketua, dan 4 orang wakil ketua yaitu Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), dan Fahri Hamzah (PKS). Tapi sejak 15 Januari 2018, Ketua DPR dijabat oleh Bambang Soesatyo menggantikan posisi Setya Novanto yang masuk penjara. Lagi-lagi Ketua Umum parpol masuk penjara.
Program Nawa Cita Jokowi-JK disusun oleh PDIP yang berisi agenda pemerintahan pasangan itu. Dalam visi-misi tersebut dipaparkan sembilan agenda pokok untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Lalu dalam periode kedua, Jokowi-Maruf Amin melanjutkan Nawa Cita dengan penekanan pada 5 Visi Jokowi untuk pembangunan: 1) Pembangunan infrastruktur akan terus dilanjutkan, 2) Pembangunan sumber daya manusia, 3) Investasi harus diundang seluas-luasnya, 4) Reformasi birokrasi, 5) Menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Belajar dari pengalaman, Jokowi berkeyakinan bahwa pemerintahan yang efektif mesti didukung pilar legislatif yang kondusif. Jadi perlu dibangun suatu koalisi besar. Maka kita melihat selama periode kedua pemerintahannya Jokowi berhasil menggalang koalisi yang terdiri dari 8 partai politik di parlemen yang mendukung pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin (2019-2024).
Komposisinya: PDI-P dengan 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, Demokrat 54 kursi, PAN 44 kursi, PPP 19 kursi. Sedangkan parpol oposisi adalah PKS yang punya 50 kursi. Total 575 kursi. Ketua DPR adalah Puan Maharani dari PDIP.
Boleh dibilang dengan dukungan koalisi parpol di parlemen yang sebesar 525 kursi atau 90 persen lebih maka banyak kebijakan besar yang diambil Jokowi bisa berjalan dengan efektif lantaran didukung (mendapat persetujuan dengan cepat) dari parlemen. Misalnya saja, UU Cipta Kerja dan UU IKN, adalah dua contoh dari sekian banyak UU inisiatif eksekutif yang diratifikasi dengan relatif cepat.
Singkat cerita Jokowi berkeyakinan hanya dengan koalisi besarlah maka pemerintahan bisa berjalan lancar dengan program pembangunannya. Di titik inilah bibit-bibit perpisahan Jokowi dengan PDIP (Megawati) mulai bersemi. Jokowi mendahulukan kerjasama politik bersama parpol koalisi untuk menjamin program pembangunannya berlanjut terus. Sedangkan PDIP (Megawati) mendahulukan parpolnya dulu untuk mendominasi kekuasaan.
Perbedaan ontologis dalam memandang realitas politik ini telah mengakibatkan perbedaan dalam strategi politik antara keduanya. Jokowi ingin koalisi besar dipertahankan sejak pra-pemilu (sebelum pemilu). Dimana ada kesepakatan (semacam permusyawaratan) yang intinya adalah membela program-program pembangunan Jokowi yang sedang berjalan agar bisa terus terlaksana.
Ini dalam cara pandang Jokowi adalah strategi koalisi besar untuk menghadapai realitas faktual geo-politik dunia. Disamping itu kesempatan Indonesia yang punya kondisi demografis kependudukan yang kondusif untuk melepaskan kita dari “middle-income trap” (jebakan negara berpenghasilan menengan) sangatlah penting dan urgansinya tak bisa ditawar-tawar lagi.
Akhirnya kita menyaksikan di penghujung akhir masa jabatannya Jokowi menghadapi tantangan bukan dari luar saja, tapi teristimewa dari internal partainya sendiri. Tak perlu diulang di sini bagaimana drama Jokowi versus Megawati mewarnai blantika politik nasional.
Peristiwa panen raya di Kebumen, dimana Jokowi berkeinginan untuk mempersatukan Prabowo dengan Ganjar lewat pertemuan antara keduanya di pematang sawah (Kamis, 9 Maret 2023) ternyata tak menghasilkan kesepakatan politik.
Skema Prabowo-Ganjar pupus. Tapi sejarah mencatat bahwa Jokowi telah berusaha mempersatukan keduanya, upaya ini sekaligus dianggap sebagai cara Jokowi untuk merealisasikan perjanjian Batu Tulis yang dulu disepakati PDIP dan Gerindra namun tertunda.
Koalisi parpol yang mendukung Prabowo akhirnya sepakat usulan Prabowo untuk mencalonkan Gibran sebagai wapres setelah dead-lock diantara Ketum parpol koalisi. Jokowi awalnya menolak, namun akhirnya menerima. Gibran pun “diwakafkan” untuk jadi calon wakil presiden Prabowo dalam pemilu 2024.
To cut long story short, Prabowo-Gibran terpilih, mengalahkan paslon Anies-Muhaimin di posisi kedua dan paslon Ganjar-Mahfud di posisi ketiga. Dalam pelantikan Prabowo-Gibran kembali Magawati tidak hadir.
Jokowi mempersiapkan masa transisi di tahun 2024 dengan sangat mulus. Dibentuk Presidential Communication Office (PCO) yang kemudian diteruskan di masa Kabinet Merah Putihnya Prabowo. Juga aspek anggaran 2025 di diskusikan bersama tim transisi Prabowo-Gibran.
Sehingga bisa dikatakan transisi pemerintahan Jokowi-Maruf Amin ke pemerintahan Prabowo-Gibran ini adalah transisi termulus dan oleh karena itu yang terbaik selama sejarah Republik Indonesia. Apalagi tema keberlanjutan yang dipilih Prabowo-Gibran ternyata disukai mayoritas rakyat Indonesia.
Sekarang ini (2025) keempat tokoh bangsa, Megawati, SBY dan Jokowi masih ada di antara kita untuk menyaksikan dan mendukung Prabowo-Gibran melanjutan pembangunan menuju Indonesa Emas 2045. Memanfaatkan bonus demografi (dengan gizi dan pendidikan) untuk melepaskan Indonesia dari “middle-income trap”.
Jakarta, Minggu 2 Februari 2025
*Andre Vincent Wenas*,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.