Penulis: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I. – merupakan kader Ansor Aceh
Indonesiainvestigasi.com
DI TENGAH derasnya arus informasi dan ekspresi bebas di media sosial, umat Islam dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjaga kesucian agama dan martabat komunitas tanpa terjebak dalam sikap reaktif yang destruktif. Kasus akun TikTok “TERSADARKAN” yang diduga menyebarkan konten penghinaan terhadap Islam dan masyarakat Aceh menjadi titik refleksi penting bagi kita semua.
Fenomena ini bukan hanya soal pelanggaran etika, tetapi juga menyangkut pertahanan aqidah dan identitas kolektif. Namun, respons terhadapnya tidak cukup hanya dengan kemarahan atau pelaporan hukum. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam, berbasis teori dan nilai, agar solusi yang dihasilkan tidak bersifat temporer, melainkan transformatif.
Teori literasi media yang dipelopori oleh Renee Hobbs menekankan pentingnya kemampuan individu untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam berbagai bentuk. Dalam konteks Aceh, literasi media harus menjadi bagian dari pendidikan keislaman dan kebangsaan, agar generasi muda tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen narasi yang bermartabat.
Sementara itu, teori etika komunikasi dari Richard Johannesen menggarisbawahi bahwa komunikasi publik harus mempertimbangkan nilai kebenaran, tanggung jawab sosial, dan dampak terhadap komunitas. Konten yang menghina agama bukanlah kebebasan berekspresi, melainkan bentuk kekerasan simbolik yang merusak kohesi sosial dan spiritual masyarakat.
Dalam ranah dakwah, pendekatan bil hikmah yang diajarkan oleh Al-Qur’an (QS. An-Nahl: 125) menjadi landasan utama. Dakwah yang efektif bukanlah yang keras dan menghukum, melainkan yang bijak, argumentatif, dan penuh kasih sayang. Ini sejalan dengan teori komunikasi persuasif dari Aristotle yang menekankan ethos (karakter), pathos (emosi), dan logos (logika) sebagai elemen utama dalam menyampaikan pesan.
GP Ansor Aceh, sebagai bagian dari elemen pemuda Islam, memiliki tanggung jawab ganda: menjaga aqidah umat dan membangun peradaban digital yang santun. Dalam menghadapi kasus seperti “TERSADARKAN”, pendekatan hukum memang penting, tetapi harus dibarengi dengan edukasi publik yang mencerahkan.
Langkah pelaporan ke aparat penegak hukum harus dilakukan secara profesional, berbasis bukti, dan tidak mengabaikan prinsip keadilan. Namun, lebih dari itu, kita perlu membangun ekosistem digital yang mampu menangkal konten destruktif melalui narasi alternatif yang kuat dan inspiratif.
Teori spiral keheningan dari Elisabeth Noelle-Neumann menunjukkan bahwa ketika kelompok mayoritas diam terhadap konten negatif, maka suara minoritas yang destruktif akan mendominasi. Oleh karena itu, umat Islam harus aktif bersuara di ruang digital, bukan dengan kebencian, tetapi dengan konten yang membangun.
Dalam perspektif maqashid syariah, menjaga agama (ḥifẓ al-dīn) adalah tujuan utama. Namun, cara menjaganya harus sesuai dengan prinsip maslahat dan tidak menimbulkan kerusakan baru. Literasi digital beradab adalah bentuk penjagaan agama yang relevan dengan zaman.
Aceh sebagai daerah syariat memiliki tanggung jawab lebih besar dalam membangun ketahanan spiritual dan budaya digital. Pemerintah, ormas Islam, dan media harus bersinergi dalam menciptakan ruang digital yang sehat, edukatif, dan bebas dari ujaran kebencian.
Kader-kader muda seperti GP Ansor harus menjadi pionir dalam menciptakan konten dakwah yang kreatif, menyentuh, dan berbasis nilai. Kita tidak cukup hanya membantah konten negatif, tetapi harus mampu mengisi ruang digital dengan narasi positif yang membangun.
Pendidikan literasi digital harus masuk dalam kurikulum pesantren, madrasah, dan sekolah umum. Anak-anak harus diajarkan cara berpikir kritis, menyaring informasi, dan mengekspresikan diri secara santun. Ini adalah investasi jangka panjang dalam menjaga aqidah dan akhlak.
Media lokal juga memiliki peran strategis dalam membingkai isu-isu keagamaan secara konstruktif. Alih-alih mengejar sensasi, media harus menjadi mitra dakwah yang menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Kasus “TERSADARKAN” harus menjadi momentum refleksi, bukan hanya kemarahan. Kita perlu bertanya: mengapa konten seperti itu bisa viral? Apa yang kurang dari narasi keislaman kita? Bagaimana kita bisa menjangkau mereka yang tersesat dengan kasih sayang dan ilmu?
GP Ansor Aceh mengajak seluruh elemen umat untuk menjadikan literasi digital beradab sebagai benteng aqidah. Kita tidak hanya membela Islam dengan laporan hukum, tetapi juga dengan konten yang menyentuh hati, membangun akal, dan menghidupkan jiwa.
Sikap GP Ansor Aceh terhadap Kasus Akun “TERSADARKAN”
1. Mengecam keras konten yang menghina Islam dan Aceh – GP Ansor Aceh menilai konten tersebut sebagai bentuk provokasi yang merusak nilai-nilai keislaman dan keacehan.
2. Mendukung langkah hukum yang profesional dan terukur – Pelaporan ke aparat penegak hukum harus dilakukan dengan bukti yang sah, prosedural, dan tidak emosional.
3. Menolak respons yang reaktif dan penuh kebencian – GP Ansor Aceh menegaskan bahwa menjaga agama tidak boleh dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan nilai Islam itu sendiri.
4. Mendorong edukasi publik melalui literasi digital beradab – Kami mengajak seluruh ormas Islam dan media untuk mengedukasi masyarakat tentang etika bermedia sosial dan pentingnya konten dakwah yang santun.
5. Mengajak sinergi antar elemen umat untuk membangun narasi alternatif – GP Ansor Aceh siap berkolaborasi dalam menciptakan konten digital yang inspiratif, membangun, dan sesuai dengan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
6. Menjadikan kasus ini sebagai momentum refleksi dan perbaikan sistemik – Kami mendorong evaluasi menyeluruh terhadap pola dakwah digital, kurikulum literasi media, dan peran media lokal dalam menjaga marwah umat.
-M12H-
