Oleh: Ust. Agustari Husni, S.Pd.I., M.Pd
DOSEN Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Jannatul Firdaus Kota Subulussalam, Alumni Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Indonesia Investigasi
SUBULUSSALAM — Dunia pendidikan hari ini seolah kehilangan ruhnya. Keberhasilan pendidikan kini terlalu sering diukur dari hal-hal yang tampak di permukaan: nilai tinggi, peringkat atau ranking, gelar akademik, hingga tumpukan sertifikat. Padahal, semua itu hanyalah simbol keberhasilan semu. Ya memang Kita bangga pada prestasi akademik, namun sering lupa bertanya: apakah anak-anak kita tumbuh menjadi manusia yang jujur, peduli, dan bertanggung jawab?
Lembaga Pendidikan memang banyak mencetak kepala yang penuh hafalan, tetapi sedikit sekali yang tahu bagaimana menjadikan manusia hakiki sebagai Makhluk sosial dan berbudi. Di tengah derasnya arus informasi dan kompetisi global, rasa sosial dan budi pekerti justru menjadi hal yang paling langka. Tanpa budi, kecerdasan hanya menghasilkan kepintaran yang dingin dan manipulatif.
Inilah kondisi pendidikan yang jarang disadari. Kita hidup di zaman ketika anak-anak mampu menjawab soal rumit, namun tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka pandai mengejar nilai, tetapi tidak mampu menahan diri. Akibatnya, pendidikan kehilangan arah — berubah menjadi pabrik otak, bukan tempat tumbuhnya karakter. Sudah saatnya kita menantang paradigma lama itu. Pendidikan bukan soal seberapa banyak yang kamu tahu, tapi seberapa kuat kamu berdiri di atas nilai moral ketika pengetahuanmu diuji.
1. Budi Pekerti adalah Pondasi Kecerdasan Sejati
Kecerdasan tanpa moral ibarat kapal tanpa kompas — bisa melaju cepat, tetapi tanpa arah yang jelas. Anak yang cerdas tapi tidak jujur akan menggunakan kepintarannya untuk menipu. Anak yang pintar tapi tanpa empati akan menggunakan ilmunya untuk menindas. Maka pendidikan sejati dimulai bukan dari isi kepala, melainkan dari pembiasaan nilai: kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan rasa hormat.
Anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Tak ada gunanya ceramah panjang tentang etika bila setiap hari mereka melihat contoh ketidakadilan dan kebohongan. Budi pekerti tumbuh dari pengalaman, bukan sekadar teori. Tugas kita bukan menambah jam pelajaran moral, tapi menciptakan lingkungan di mana nilai-nilai sosial itu hidup dan terasa.
2. Tanamkan Karakter, Bukan Hanya Kejar Angka
Ketika pendidikan hanya diukur dari ujian dan nilai, moral perlahan terpinggirkan. Anak belajar untuk menang, bukan untuk menjadi lebih baik. Mereka belajar menyontek karena sistem lebih menghargai hasil ketimbang proses. Ketika guru dinilai dari tinggi rendahnya nilai murid, integritas pun ikut dikorbankan.
Sekolah yang baik bukan yang mencetak juara olimpiade, tapi yang menumbuhkan manusia berintegritas. Karakter tidak lahir dari kurikulum rumit, melainkan dari konsistensi teladan. Guru yang datang tepat waktu mengajarkan tanggung jawab. Guru yang berani mengakui kesalahan memberi pelajaran kejujuran. Karakter bukan pelajaran tambahan — ia adalah napas dari seluruh proses belajar.
3. Orang Tua dan Masyarakat Adalah Guru Pertama
Banyak orang tua menuntut sekolah membentuk karakter anak, padahal teladan di rumah sering tidak sejalan. Anak-anak meniru lebih cepat daripada memahami nasihat. Ketika orang tua sering berbohong, marah, atau ingkar janji, maka pendidikan moral di sekolah menjadi sia-sia.
Tugas utama orang tua bukan memastikan anak mendapat nilai sempurna, tapi memastikan anak tumbuh dengan hati yang kuat dan pikiran yang jernih. Ajarkan anak untuk minta maaf, bersyukur, dan membantu tanpa pamrih. Pendidikan sejati dimulai dari meja makan — dari percakapan sederhana tentang kebaikan dan tanggung jawab.
4. Pendidikan Moral Harus Relevan, Bukan Seremonial
Pelajaran budi pekerti sering hanya sebatas hafalan tentang sopan santun dan etika. Namun semua itu akan hampa jika tidak dikaitkan dengan kehidupan nyata. Anak-anak perlu tahu mengapa kejujuran penting di era digital, mengapa empati penting di dunia yang penuh komentar tajam, dan mengapa tanggung jawab bernilai di tengah budaya instan.
Kampus dan lembaga pendidikan perlu berani berinovasi. Libatkan siswa dan mahasiswa dalam kegiatan sosial, ajarkan debat yang santun, dan bantu mereka mengenal perbedaan tanpa kebencian. Pendidikan moral bukan mengekang kebebasan, tapi menuntun agar kebebasan tidak berubah menjadi kebiadaban.
5. Pendidikan Sejati Menumbuhkan Tanggung Jawab
Kita sering membesarkan generasi yang pintar mencari alasan, tapi malas bertanggung jawab. Padahal inti dari pendidikan moral adalah kemandirian batin — kemampuan mengakui kesalahan dan memperbaiki diri. Ketika anak selalu dilindungi dari konsekuensi, ia kehilangan kesempatan belajar menjadi dewasa.
Pendidikan yang baik bukan yang membuat anak selalu nyaman, tetapi yang melatih mental mereka menghadapi realitas hidup. Orang berpendidikan sejati bukan yang tahu banyak teori, melainkan yang mampu bertindak dengan tanggung jawab, bahkan ketika tak ada yang melihat.
Menjadikan Pendidikan Gerakan Moral
Sudah waktunya kita mendobrak paradigma lama bahwa pendidikan hanya soal kecerdasan intelektual. Dunia tidak butuh lebih banyak orang pintar yang licik, tapi orang berilmu yang bermoral. Setiap krisis sosial — korupsi, kekerasan, hingga ketidakadilan — berakar dari hilangnya budi pekerti.
Maka, jika ingin membangun bangsa yang kuat, mulailah bukan dari perubahan kurikulum, tapi dari perubahan nilai. Jadikan pendidikan sebagai gerakan moral, bukan sekadar industri nilai dan ijazah. Jadilah guru yang menyalakan hati, bukan sekadar memberi tugas. Jadilah orang tua yang memberi teladan, bukan hanya perintah. Sebab di ujungnya, pendidikan bukan tentang seberapa tinggi kamu bisa berpikir, tapi seberapa dalam kamu bisa memahami dan memperlakukan manusia.
Otak bisa membawamu menuju sukses, tapi budi pekerti-lah yang akan menjaga kehormatanmu ketika segalanya diuji.
Jusmadi
