Oleh : Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.
A. Latar Belakang: Ketika Demokrasi Gampong Tergelincir di Ujung Pena Administrasi.
Agenda Pemilihan Geuchik di Gampong Alue Ngom, Kecamatan Nibong, Aceh Utara, yang seharusnya menjadi ajang musyawarah dan perayaan kedaulatan rakyat, justru berubah menjadi panggung kekisruhan. Dugaan penggunaan ijazah tidak sah oleh salah satu bakal calon menjadi pemantik bara. Namun, dibalik itu, tersimpan persoalan yang lebih dalam, yaitu lemahnya pada tahapan verifikasi administratif, dugaan adanya intervensi kekuasaan dan ketidakpekaan terhadap nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi penyangga harmoni sosial.
Dalam konteks Aceh, pemilihan Geuchik bukan hanya sekedar urusan administratif. Ia adalah bagian dari warisan panjang adat dan syariat yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik. Qanun ini menegaskan pentingnya keabsahan syarat administratif, namun juga membuka ruang pengakuan terhadap pendidikan non-formal seperti dayah, selama memiliki legalitas dari lembaga yang berwenang.
Lebih dari itu, masyarakat Aceh telah menerapkan nilai-nilai lokal seperti meusyawarah, meuhaba dan peumulia jamee, nilai-nilai tersebut menekankan pentingnya keterbukaan, penghormatan terhadap tamu dan warga, serta penyelesaian masalah melalui musyawarah dan mufakat. Ketika proses pencalonan Geuchik justru diwarnai ketertutupan, keberpihakan dan pengabaian aspirasi warga, maka yang terkoyak bukan hanya hukum, tapi juga marwah budaya gampong.
B. Indikasi Pelanggaran Hukum: Antara Administrasi yang Cacat dan Etika yang Terinjak
Dugaan penggunaan ijazah tidak sah oleh salah satu calon Geuchik merupakan pelanggaran serius terhadap ketentuan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009. Qanun tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa, “calon Geuchik harus memiliki pendidikan paling rendah tamat SLTP atau sederajat, termasuk pendidikan keagamaan yang diakui negara.” Maka, jika ijazah mu’adalah dari dayah tapi tidak pernah menempuh pendidikan Dayah. maka, wajib dilakukan penolakan atas dasar hukum.
Lebih jauh lagi, jika benar ada pembiaran atau bahkan pembenaran dari pihak Pemkim dan camat terhadap berkas yang cacat hukum, maka ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, “tindakan semacam ini melanggar prinsip keadilan prosedural dan kepastian hukum.”
Yang paling mengkhawatirkan adalah potensi pelanggaran hukum ke depan. Ketika proses seleksi dilakukan secara tergesa-gesa oleh pemkim, maka warga kehilangan hak untuk memilih pemimpin yang sah dan kredibel. Ini bukan hanya soal prosedur, tapi soal martabat demokrasi lokal yang dijamin oleh UUD 1945 dan ditegaskan kembali dalam Qanun Aceh sebagai bagian dari kekhususan Aceh dalam mengelola pemerintahan berbasis syariat dan adat.
C. Ketika Budaya Lokal Ditinggalkan: Retaknya Kohesi Sosial Gampong
Aceh bukan hanya wilayah administratif; ia adalah ruang budaya yang hidup dari nilai-nilai kolektif. Dalam konteks pemilihan Geuchik, masyarakat Aceh mengenal prinsip meusyawarah meupakat, di mana keputusan penting diambil melalui dialog terbuka, bukan intrik birokrasi. Ketika proses seleksi calon dilakukan secara tertutup dan penuh kecurigaan, maka yang dilanggar bukan hanya aturan, tapi juga adat.
Tudingan “main mata” antara oknum pejabat dan calon tertentu bukan sekadar rumor politik. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kejujuran sebagai bagian dari ajaran Islam dan adat, keberpihakan semacam ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Ia menciptakan luka sosial yang dalam, karena merusak tatanan relasi sosial yang selama ini dijaga dengan susah payah.
Lebih dari itu, kondisi yang memanas di lapangan menunjukkan bahwa, masyarakat tidak lagi merasa dilibatkan dalam proses yang menyangkut masa depan gampong mereka. Ketika suara rakyat dianggap gangguan dan kritik dipandang sebagai ancaman, maka demokrasi lokal telah kehilangan ruhnya. Ini adalah alarm keras bagi semua pihak, bahwa demokrasi tanpa budaya dan etika hanyalah prosedur kosong.
D. Solusi: Menegakkan Qanun, Merawat Adat, Memulihkan Marwah
Langkah pertama yang harus diambil adalah audit ulang terhadap seluruh dokumen pencalonan oleh tim independen yang melibatkan unsur adat, ulama dan tokoh masyarakat. Ini sejalan dengan semangat Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang menempatkan tokoh adat sebagai bagian dari penyelesaian konflik sosial.
Kedua, jika ditemukan pelanggaran, maka sanksi administratif dan pidana harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Calon yang terbukti menggunakan dokumen palsu harus didiskualifikasi dan pejabat yang terlibat dalam manipulasi harus diperiksa oleh Inspektorat dan, jika perlu, oleh aparat penegak hukum. Ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegaskan bahwa, “hukum tidak tunduk pada kekuasaan.”
Ketiga, perlu dibentuk forum meusyawarah gampong yang memiliki legitimasi adat dan hukum untuk menyelesaikan sengketa pencalonan Geuchik. Forum ini bisa menjadi ruang dialog antara warga, panitia dan pemerintah, sehingga keputusan yang diambil tidak hanya sah secara hukum, tapi juga diterima secara sosial dan budaya.
E. Penutup: Demokrasi Gampong Harus Berakar pada Hukum dan Adat
Kisruh di Alue Ngom bukan sekedar soal ijazah atau prosedur. Ia adalah cerminan dari bagaimana demokrasi lokal bisa runtuh ketika hukum diabaikan dan budaya dilupakan. Dalam konteks Aceh, di mana hukum dan adat berjalan beriringan, pemilihan Geuchik harus menjadi ruang perjumpaan antara syariat, adat dan aspirasi rakyat.
Pemerintah daerah tidak boleh tinggal diam. Mereka harus hadir bukan sebagai pemadam kebakaran, tapi sebagai penjaga marwah demokrasi dan budaya. Karena jika demokrasi desa rusak, maka yang hancur bukan hanya sistem, tapi juga kepercayaan, persaudaraan dan masa depan gampong itu sendiri.
Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan pemilihan Geuchik sebagai urusan kecil. Di sanalah, sesungguhnya, wajah Aceh sedang dipertaruhkan secara nyata, antara menjadi tanah yang menjunjung hukum dan adat, ataukah hanya sekedar panggung kekuasaan yang kehilangan arah.
Banda Aceh, 21 Desember 2025
M12H






