Indonesia Investigasi
Jakarta – Seorang ibu bernama LS mengungkapkan kesedihannya setelah kehilangan hak asuh putrinya yang berinisial GI, LS mengklaim bahwa mantan suaminya, Danny Septriadi Djayaprawira, telah mengambil paksa GI sejak 2 Juli 2023, meskipun ada kesepakatan hukum yang menetapkan dirinya sebagai pemegang hak asuh, Senen 17/2/2025.
Menurut LS, kesepakatan tersebut dibuat dalam perjanjian di hadapan notaris di Jakarta pada 19 November 2019. Dalam Pasal 3 perjanjian tersebut, dinyatakan bahwa hak asuh anak yang masih di bawah umur diberikan kepada ibu, yaitu LS. Namun, LS menuturkan bahwa mantan suaminya melanggar perjanjian tersebut dengan mengambil paksa GI dari pengasuhannya.
“Saya sangat terpukul karena hak asuh yang sudah disepakati ternyata tidak dihormati. GI adalah anak yang berprestasi, bahkan pernah menjadi peserta Olimpiade Matematika tingkat dunia dan membawa nama baik Indonesia,” ungkap LS
LS juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi putrinya setelah kehilangan kontak sejak diambil alih oleh Danny. *LS juga khawatir karena keadaan anaknya yang sangat mengkhawatirkan setelah mendengar pengakuan langsung bahwa Danny ( tanpa hak asuh anak di bawah umur) memberikan Cipralex 15 mg tiap hari kepada putrinya tanpa assessment dari psikiater Fransiska Kaligis di RSCM. Padahal anak dalam keadaan sehat pada mulanya.*
“Saya benar-benar shock mengetahui anak saya dicekoki obat Cipralex. GI bukan anak yang sakit, dia ceria dan penuh semangat. Tapi sejak diambil paksa, psikologisnya berubah drastis,” kata LS sambil menangis.
LS menuturkan bahwa sejak kejadian perampasan anak di bulan Juli 2023, ia tidak diizinkan bertemu atau berkomunikasi dengan GI. Bahkan, ia mencoba mengunjungi rumah warisan dari bpknya ia di usir dan di gembok lalu DannySeptriadi Djayaprawira di panggil Polsek lewat telpon, kemudian Polsek tersebut bilang itu rumah warisan dan anak di bawah umur adalah Hak Ibu Asuh.
“Sungguh tidak manusiawi. Saya hanya ingin bertemu putri saya, tapi semua akses saya diputus, bahkan komunikasi pun tidak diperbolehkan,” ujarnya.
*LS* mengaku telah melaporkan kasus ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Utara, tetapi merasa tidak mendapat respons yang memadai.
“Saya sangat kecewa dengan KPAI dan Unit PPA Polres Jakarta Utara. Saya sudah bolak-balik datang, tapi sepertinya kasus ini diulur-ulur. Saya hanya ingin keadilan untuk anak saya, yang berdasarkan akte ini, saya adalah pemegang hak asuh yang sah secara hukum negara, “tegasnya.
LS berharap pemerintah dan masyarakat dapat membantunya mendapatkan kembali hak asuh GI serta memastikan putrinya mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam pemberian obat kepada anak di bawah umur dan menghindari penyalahgunaan pengobatan yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik anak. *Bagaimana dengan nasib masa depan bangsa ini jika negara tidak menyelamatkan generasi mudanya ?*
(RED)