Indonesia Investigasi
Oleh: Fachrian, ST, pemerhati lingkungan, saat ini sedang menjalani studi S2 di Universitas AlMuslim Bireuen, program studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan (PSL).
Kita semua sadar bahwa ekonomi global hari ini bergerak sangat cepat. Perdagangan lintas negara, industri besar-besaran, konsumsi energi yang tak terkendali. Semua itu telah membawa dampak besar terhadap lingkungan. Ironisnya, sambil berlari mengejar pertumbuhan ekonomi, kita juga mempercepat kerusakan bumi kita sendiri.
Ekonomi yang tumbuh tanpa memperhatikan lingkungan adalah bom waktu bagi masa depan umat manusia. Belum cukup sampai disitu, ditambah lagi pemanasan global: suhu bumi naik, es kutub mencair, pola cuaca ekstrem melanda berbagai penjuru dunia. Ini realita, ini terjadi. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Diam dan menonton? Tentu tidak!
Ekonomi Global: Pendorong atau Perusak Lingkungan?
Dalam sebuah laporan IPCC 2023, tercatat bahwa emisi karbon global tahun 2022 mencapai 36,8 miliar ton, sebagian besar akibat aktivitas industri dan energi dan ini merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah. Ini bukan sekadar angka. Ini alarm keras yang seharusnya membangunkan kita semua. Ekonomi global mendorong konsumsi berlebihan terhadap sumber daya alam (SDA). Penebangan hutan, polusi laut, eksploitasi tambang, itu semua “dosa” atas nama pertumbuhan.
Pemanasan Global: Ancaman yang Nyata
Fenomena pemanasan global memperparah tekanan terhadap lingkungan hidup. Menurut NASA (2023), rata-rata suhu permukaan global telah meningkat 1,2°C sejak era pra-industri. Akibatnya: Es laut Arktik menyusut drastis (NOAA, 2023), kejadian cuaca ekstrem meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir (IPCC, 2023), krisis pangan mengancam ketahanan global (FAO, 2023). Ini artinya setiap satu derajat bumi memanas, setiap makhluk hidup mempertaruhkan kelangsungan hidupnya (IPCC, 2023).
Langkah Nyata untuk Menyelamatkan Lingkungan
Pertama, transisi ke ekonomi hijau yakni melakukan investasi pada energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil. Kemudian, merencanakan suatu tata ruang yang aman dimana pemukiman dan industri harus berbasis pemetaan risiko bencana. Selanjutnya, menciptakan suatu sistem monitoring canggih untuk pemantauan secara real-time terhadap aktivitas vulkanik dan perubahan iklim. Kemudian, pengelolaan SDA adaptif seperti restorasi ekosistem, diversifikasi ekonomi lokal.
Terakhir dan tak kalah penting adalah kolaborasi global dan pendanaan yaitu kerjasama internasional untuk perlindungan bumi dan asuransi risiko bencana. Bumi sudah memberi tanda-tandanya, kini giliran kita memilih: diam atau bergerak ! (Red)