𝐎𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐢𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐋𝐢𝐨𝐧: 𝐇𝐢𝐩𝐨𝐤𝐫𝐢𝐬𝐢 𝐁𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐆𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐈𝐫𝐚𝐧-𝐈𝐬𝐫𝐚𝐞𝐥 𝟐𝟎𝟐𝟓

 

 

Oleh : Drs Muhammad Bardansyah Ch.Cht dengan referensi dari berbagai sumber

 

Bacaan Lainnya

PERANG terbuka antara Iran dan Israel pada Juni 2025 bukan hanya memicu ketegangan global, tetapi semakin menyingkap kedalaman kemunafikan dan standar ganda yang dipraktikkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya.

 

Tuduhan kemunafikan ini bukanlah omong kosong belaka, melainkan didasarkan pada pola perilaku yang konsisten dan terlihat jelas dalam respons mereka terhadap aksi-aksi militer di kawasan.

 

Sikap mereka seringkali menunjukkan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang mencolok, mengabaikan prinsip hukum internasional yang mereka gembar-gemborkan sendiri.

 

𝐈𝐬𝐫𝐚𝐞𝐥 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐮𝐥𝐮𝐚𝐧: 𝐓𝐮𝐝𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐍𝐨𝐧-𝐏𝐫𝐨𝐥𝐢𝐟𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢

 

Pemicu konflik terbuka terjadi pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025, ketika Israel melancarkan 𝘖𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘙𝘪𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘓𝘪𝘰𝘯.

 

Serangan mendadak tanpa peringatan ini menyasar fasilitas nuklir dan target strategis Iran, menewaskan sejumlah ilmuwan dan pejabat militer.

 

Israel membenarkan serangan ini sebagai tindakan pre-emptive untuk melindungi keamanan nasionalnya, dengan dalih mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.

 

Namun, dasar pembenaran ini mengandung kejanggalan fundamental yang menjadi sumber tuduhan kemunafikan:

 

𝐒𝐭𝐚𝐭𝐮𝐬 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐚𝐧𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐍𝐨𝐧-𝐏𝐫𝐨𝐥𝐢𝐟𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐍𝐮𝐤𝐥𝐢𝐫 (𝐍𝐏𝐓):

 

Iran merupakan negara penandatangan dan peratifikasi Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Sebagai anggota, Iran secara rutin menerima inspeksi dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) atas fasilitas nuklirnya, meskipun ada perselisihan dan laporan yang kompleks mengenai kepatuhannya (IAEA, 2025).

 

Posisi Israel Sebaliknya, Israel bukan negara penandatangan NPT. Ia secara konsisten menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut dan menutup akses inspeksi IAEA terhadap fasilitas nuklirnya sendiri, yang secara luas diyakini memiliki persenjataan nuklir yang substansial (Cohen, 2010).

 

Kejanggalan ini sangat terang benderang: Israel, yang menolak semua kewajiban transparansi dan kontrol non-proliferasi internasional, menyerang Iran dengan alasan non-proliferasi, sementara Iran, yang secara formal tunduk pada rezim pengawasan IAEA, menjadi sasaran.

 

Ini menciptakan kesan kuat bahwa kepatuhan pada aturan internasional dihukum, sementara penolakan terhadapnya diabaikan bahkan dimanfaatkan untuk legitimasi serangan.

 

𝐃𝐢𝐚𝐦 𝐒𝐚𝐚𝐭 𝐀𝐠𝐫𝐞𝐬𝐢, 𝐌𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐚𝐭 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧: 𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐆𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐑𝐞𝐬𝐩𝐨𝐧𝐬 𝐁𝐚𝐫𝐚𝐭

 

Respons Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya terhadap serangkaian peristiwa ini semakin memperjelas tuduhan kemunafikan dan standar ganda:

 

Diam Seribu Bahasa Saat Serangan Israel: Ketika Israel melancarkan 𝘖𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘙𝘪𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘓𝘪𝘰𝘯 , sebuah serangan mendadak terhadap kedaulatan dan fasilitas vital Iran – AS dan sekutu Baratnya tidak mengeluarkan kecaman berarti.

 

Tidak ada seruan mendesak untuk gencatan senjata atau tindakan signifikan di Dewan Keamanan PBB untuk menanggapi serangan pertama ini.

 

Kemarahan dan Janji Balasan Saat Iran Membalas: Hanya beberapa jam kemudian, ketika Iran melancarkan serangan balasan besar-besaran terhadap Israel, AS dan sekutu Baratnya segera menyuarakan kecaman keras.

 

Mereka secara terbuka menyatakan dukungan militer dan politik untuk Israel, bahkan menjanjikan bantuan untuk menyerang Iran kembali.

 

Pola respons ini sangat konsisten dengan rekam jejak Barat dalam konflik Timur Tengah. Sikap ini mengabaikan kenyataan mendasar bahwa

 

𝐬𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐬𝐫𝐚𝐞𝐥 𝐭𝐞𝐫𝐡𝐚𝐝𝐚𝐩 𝐈𝐫𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐢𝐧𝐝𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐠𝐫𝐞𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐞𝐥𝐚𝐬 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫 𝐡𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐢𝐧𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥.

 

Resolusi Majelis Umum PBB 3314 (XXIX) Tahun 1974 mendefinisikan agresi sebagai:

“𝘵𝘩𝘦 𝘶𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘢𝘳𝘮𝘦𝘥 𝘧𝘰𝘳𝘤𝘦 𝘣𝘺 𝘢 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦 𝘢𝘨𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘴𝘰𝘷𝘦𝘳𝘦𝘪𝘨𝘯𝘵𝘺, 𝘵𝘦𝘳𝘳𝘪𝘵𝘰𝘳𝘪𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘨𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘰𝘳 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘢𝘯𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦, 𝘰𝘳 𝘪𝘯 𝘢𝘯𝘺 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳 𝘪𝘯𝘤𝘰𝘯𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯𝘵 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘵𝘩𝘦 𝘊𝘩𝘢𝘳𝘵𝘦𝘳 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴” (𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘎𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘭 𝘈𝘴𝘴𝘦𝘮𝘣𝘭𝘺, 1974).

 

Prinsip dasar larangan penggunaan kekerasan (Jus ad Bellum) merupakan pilar utama Piagam PBB, ditegaskan dalam Pasal 2(4):

“𝘈𝘭𝘭 𝘔𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘴 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘭 𝘳𝘦𝘧𝘳𝘢𝘪𝘯 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦𝘪𝘳 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘳𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘵𝘩𝘳𝘦𝘢𝘵 𝘰𝘳 𝘶𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘧𝘰𝘳𝘤𝘦 𝘢𝘨𝘢𝘪𝘯𝘴𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘵𝘦𝘳𝘳𝘪𝘵𝘰𝘳𝘪𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘨𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘰𝘳 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘢𝘯𝘺 𝘴𝘵𝘢𝘵𝘦, 𝘰𝘳 𝘪𝘯 𝘢𝘯𝘺 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳 𝘪𝘯𝘤𝘰𝘯𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯𝘵 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘶𝘳𝘱𝘰𝘴𝘦𝘴 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴” (𝘜𝘯𝘪𝘵𝘦𝘥 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴, 1945).

 

Dengan diam terhadap serangan Israel yang jelas-jelas melanggar Piagam PBB, sementara marah dan mengancam balasan terhadap respons Iran, AS dan sekutunya menunjukkan sikap yang sangat selektif dalam menerapkan hukum internasional.

 

Mereka, yang termasuk perumus utama Piagam PBB, justru terlihat mengabaikannya demi kepentingan sekutu dekat.

 

𝐊𝐞𝐦𝐚𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐞𝐤𝐮𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐓𝐢𝐧𝐝𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢: 𝐈𝐫𝐨𝐧𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐏𝐚𝐡𝐢𝐭

 

Puncak ironi dan kemunafikan terlihat dalam reaksi Israel dan pendukung Baratnya terhadap dampak serangan balasan Iran.

 

Ketika rudal-rudal Iran mengenai wilayah Israel, termasuk sebuah rumah sakit yang diyakini menaungi markas IDF dan sistem Iron Dome, Israel serta AS dan sekutunya berseru tentang “kekejian” dan “tindakan biadab” Iran, menyoroti korban sipil.

 

Reaksi ini mengabaikan konteks sejarah yang panjang dan pahit:

 

𝐑𝐞𝐤𝐚𝐦 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐈𝐬𝐫𝐚𝐞𝐥 𝐝𝐢 𝐆𝐚𝐳𝐚: Israel telah berulang kali melakukan serangan udara terhadap rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi di Jalur Gaza selama bertahun-tahun.

 

Operasi militer seperti 𝘗𝘳𝘰𝘵𝘦𝘤𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘌𝘥𝘨𝘦 (2014) dan 𝘎𝘶𝘢𝘳𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘞𝘢𝘭𝘭𝘴 (2021),, serta perang berkelanjutan sejak Oktober 2023, telah menyebabkan puluhan ribu korban sipil Palestina dan kehancuran infrastruktur sipil dalam skala masif, termasuk fasilitas kesehatan yang dilindungi secara khusus di bawah Hukum Humaniter Internasional (𝘈𝘮𝘯𝘦𝘴𝘵𝘺 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭, 2024; 𝘏𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘙𝘪𝘨𝘩𝘵𝘴 𝘞𝘢𝘵𝘤𝘩, 2024).

 

𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐆𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐢𝐥𝐚𝐢𝐚𝐧: Kemarahan Israel atas serangan yang mengenai fasilitasnya – yang dianggapnya ilegitim – sementara terus-menerus melakukan serangan serupa terhadap fasilitas sipil di wilayah pendudukan, disertai pembenaran diam-diam atau bahkan dukungan terbuka dari AS dan Barat, merupakan contoh nyata standar ganda yang memicu tuduhan kemunafikan global.

 

Kritik terhadap tindakan Iran tidak diimbangi dengan pengakuan bahwa tindakan Israel sebelumnya adalah pemicu dan juga melanggar hukum internasional.

 

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧: 𝐏𝐨𝐥𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐧𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧

 

Konflik Iran-Israel 2025, yang dipicu oleh Operation Rising Lion, menjadi katalisator yang memperjelas pola hipokrisi dan standar ganda yang telah lama melekat pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya di Timur Tengah.

 

Penyerangan Israel terhadap Iran, meskipun melanggar prinsip dasar Piagam PBB tentang larangan penggunaan kekerasan, tidak dihadapi dengan kecaman atau sanksi berarti. Sebaliknya, respons balasan Iran memicu reaksi keras dan ancaman balasan kolektif Barat.

 

Ketidakkonsistenan ini diperparah oleh sikap Israel yang marah atas konsekuensi dari aksi awalnya sendiri, sementara mengabaikan rekam jejak panjang pelanggaran serupa yang dilakukannya terhadap warga Palestina.

 

Ketidakadilan dalam penerapan hukum internasional, pembiaran terhadap agresi sekutu, dan pengabaian terhadap korban sipil di wilayah tertentu sambil mengecam korban di wilayah lain, bukan hanya memperdalam krisis di Timur Tengah tetapi juga mengikis kredibilitas dan moralitas klaim Barat sebagai penjaga tatanan internasional berbasis aturan.

 

Tuduhan kemunafikan terhadap AS, Israel, dan sekutu Baratnya muncul dari inkonsistensi nyata antara kata-kata mereka tentang hukum dan perdamaian dengan tindakan nyata mereka yang seringkali sewenang-wenang dan tidak adil.

 

Tindakan AS dan Barat yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pendekar HAM sungguh di luar akal sehat.

 

Tulisan ini dibuat untuk masyarakat dunia agar memikirkan kembali tentang makna dari Human Right (Hak Azasi Manusia) yakni merupakan fondasi utama bagi perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan global.(red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *