Indonesia Investigasi
Banda Aceh – Muhammad Saleh, Juru Bicara (Jubir) Pasangan Calon (Paslon) Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Nomor Urut 2, H. Muzakir Manaf (Mualem)-Fadhullah (Dek Fadh), meminta Syakya Meirizal yang juga Juru Bicara Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi, untuk memahami aturan dan prosedur, sebelum mengeluarkan pendapat ke ruang publik. Ini dimaksudkan, agar apa yang disampaikan tidak ‘menyesatkan’ dan berimplikasi pada ‘cacat nalar’.
Penegasan itu disampaikan Muhammad Saleh atau akrab disapa Shaleh ini, terkait pendapat Syakya Meirizal yang meminta Muzakir Manaf atau Mualem, mundur dari jabatannya sebagai Wakil Wali Nanggroe dan Dewan Pengawas BPMA.
Pendapat itu disampaikan Syakya melalui Harian Serambi Indonesia, edisi Kamis 31 Oktober 2024.
Menurut Syakya, seharusnya Mualem mundur dari jabatannya sebagai Wakil Wali Nanggroe sejak ditetapkan sebagai calon Gubernur Aceh. Pasalnya jabatannya itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Karena itu, dia meminta Mualem segera mundur dari Wakil Wali Nanggroe.
Mualem juga dinilai, berpotensi besar akan memanfaatkan jabatannya itu untuk kepentingan politik maju gubernur.
Bukan hanya itu, Mualem ungkap Syakya, saat ini juga sedang menjabat pada posisi Dewan Pengawas di BPMA. Seharusnya juga mundur dari posisinya tersebut.
“Itu salah satu contoh, makanya kami minta segera mundur dari jabatan itu. Harus beranilah Mualem, karena ini sangat rawan dimanfaatkan oleh Mualem,” tegas Syakya Meirizal.
Menanggapi hal tersebut, Jubir Paslon 2 Muhammad Saleh sangat menyayangkan pendapat Syakya itu. Sebab, apa yang disampaikan Syakya membuktikan bahwa yang bersangkutan tak paham aturan dan prosedur.
Harusnya sebut Shaleh, Syakya belajar dulu dari aturan yang ada, bukan asal bunyi alias asbun dengan narasi tendensius dan provokatif.
“Katanya aktivis, tapi kok minus pengetahuan ya. Harusnya dia paham, ini bukan ranah cuap-cuap di media sosial, yang bisa bicara seenaknya. Tapi, ini ranah politik yang setiap argumentasi harus memiliki basis data dan aturan,” kritik Shaleh.
Menurut Shaleh, merujuk pada regulasi Pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh maupun Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, tentang Pemilihan serta Qanun Aceh Nomor 12 tahun 2016, maupun Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2024. Jelas dan sangat terang menderang, tidak terdapat larangan bagi jabatan dalam struktur Kelembagaan Wali Nanggroe Aceh, khusunya Waliyulahdi untuk maju sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024.
“Buka dan baca kembali Pasal 1 angka 10 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2019, tentang Parubahan Kedua atas Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2012, tentang Lembaga Wali Nanggroe. Disebutkan, Waliyul’ahdi adalah pemangku Wali Nanggroe atau orang yang merupakan perangkat kerja Lembaga Wali Nanggroe yang melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan Wali Nanggroe, apabila Wali Nanggroe tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap dan melaksanakan tugas-tugas lain yang didelegasikan oleh Wali Nanggroe,” ulas Shaleh.
Apalagi kedudukan Kelembagaan Wali Nanggroe, termasuk Waliyulahdi di dalamya berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 sangat limitatif, yakni bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.
“Jadi, jika mengkaji persyaratan menjadi Waliyulahdi maupun ketentuan yang mengatur Pilkada di Aceh, tidak terdapat larangan bagi pasangan calon dalam Pilkada yang terlibat dalam struktur Kelembagaan Wali Nanggroe Aceh. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku bagi aparatur sipil negara (ASN) yang berada di lingkungan lembaga Wali Nanggroe Aceh,” tegas Shaleh.
Terkait posisi Mualem sebagai Anggota Komisi Pengawas BPMA. Shaleh meminta Syakya untuk mempelajari Peraturan Pemerintah (PP) No: 23 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Bumi di Aceh.
Di sana disebutkan, anggota Komisi Pengawas BPMA itu berasal dari tiga sumber. Pertama, wakil pemerintah pusat. Kedua, wakil pemerintah Aceh dan ketiga wakil masyarakat. Kedua posisi terakhir itu diusulkan Gubernur Aceh kepada Menteri dan ketiganya bertanggungjawab kepada Menteri.
“Nah, Mualem itu diusulkan oleh Gubernur Aceh mewakili tokoh masyarakat Aceh. Dan sesuai Pasal 20 ayat 2, Komisi Pengawas BPMA ini diangkat dan diberhentikan oleh Menteri EDSM setelah mendapat persetujuan Gubernur Aceh,” rinci Shaleh.
Pada Pasal 30 ayat 2 ditegaskan, Komisi Pengawas memegang jabatan selama tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
“Jadi sangat jelas dan terang menderang, tidak ada satu pasal pun dalam PP tadi yang melarang anggota Komisi Pengawas BPMA, tak boleh maju sebagai paslon dalam Pilkada,” kata Shaleh kembali menegaskan.
Shaleh berharap, walau setiap orang bebas berpendapat di ruang politik, apalagi memiliki pretensi politik pada kontestasi demokrasi bertajuk Pilkada, khususnya Pilgub Aceh. Namun, berbagai pendapat tadi hendaknya disampaikan dan tetap didasari pada narasi, diksi maupun argumentasi berbasis data, prosedur serta aturan yang ada.
“Ndak baik kalau selalu bersifat provokasi. Selain tidak mencerdaskan publik, juga terkesan ‘dunggu’ dan ‘cacat nalar’. Jangan karena buruk muka lalu cermin dibelah,” tutup Shaleh.*
Dahrul