Oleh : Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.
KETIKA air bah melanda Aceh Tamiang, Langsa dan Lhokseumawe pada akhir Desember 2025, bukan hanya rumah dan jalan yang tenggelam. Harapan pun ikut hanyut. Di tengah lumpur dan reruntuhan, rakyat Aceh mengangkat bendera putih bukan sebagai tanda menyerah, melainkan sebagai jeritan sunyi yang menggema lebih nyaring dari sirene bantuan yang tak kunjung datang. Bendera putih itu bukan kain biasa. Ia adalah simbol yang sarat makna.
Dalam konteks Aceh, putih bukan hanya lambang damai, tapi juga kesucian niat, keikhlasan dan kelelahan kolektif atas janji-janji yang tak kunjung ditepati. Ia adalah bahasa visual dari rakyat yang tak lagi punya saluran formal untuk menyampaikan protes.
Namun, ketika bendera putih tak cukup menggugah nurani kekuasaan, muncul simbol lain “bendera Aceh,” yang oleh sebagian pihak diidentifikasi sebagai bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Simbol ini berkibar di tengah jalan nasional yang tergenang banjir, di Simpang Kandang, Lhokseumawe. Sebuah lokasi yang strategis dan tentu saja sarat dengan pesan. Aksi ini sontak memicu reaksi cepat dari aparat. TNI dari Korem 011/Lilawangsa harus turun tangan, membubarkan massa secara persuasif dan mengamankan satu orang. Negara, yang sebelumnya lamban dalam mengirim bantuan logistik, mendadak gesit ketika simbol tertentu mulai berkibar.
Pertanyaannya: apakah pengibaran simbol ini bentuk pengingkaran terhadap MoU Helsinki 2005? Atau justru pengingat bahwa janji-janji dalam MoU itu belum sepenuhnya ditepati?
MoU Helsinki menjanjikan pengakuan terhadap identitas Aceh, termasuk hak untuk memiliki bendera dan lambang daerah. Namun, hingga kini, Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera Aceh masih menggantung di ranah hukum nasional. Pemerintah pusat menolaknya karena dianggap menyerupai simbol GAM. Di sinilah letak paradoksnya. Negara menandatangani perjanjian damai, namun enggan mengakui simbol yang menjadi bagian dari kesepakatan itu. Maka, ketika simbol itu dikibarkan, negara melihatnya sebagai ancaman, bukan sebagai ekspresi identitas.
Padahal, dalam konteks bencana, pengibaran simbol ini lebih tepat dibaca sebagai bentuk frustrasi. Rakyat yang merasa diabaikan oleh negara, mencari cara untuk didengar. Dan dalam sejarah Aceh, simbol selalu menjadi alat komunikasi yang paling efektif.
Ini bukan pertama kalinya simbol digunakan sebagai bahasa protes. Dalam sejarah perlawanan Aceh, bendera, syair dan ritual adat sering menjadi medium untuk menyampaikan pesan politik. Kini, di tengah banjir, tradisi itu hidup kembali.
Namun, respons negara tetap sama: represif terhadap simbol, abai terhadap substansi. Negara lebih takut pada selembar kain daripada pada penderitaan ribuan warganya yang terjebak banjir tanpa logistik, listrik, atau akses kesehatan. Ini menunjukkan bahwa, perdamaian yang dibangun pasca-Helsinki masih bersifat prosedural, belum substantif. Selama ini, damai dimaknai sebagai ketiadaan konflik bersenjata, bukan sebagai kehadiran keadilan sosial dan respons negara yang bermartabat. Maka, pengibaran simbol Aceh di tengah bencana bukanlah pengingkaran terhadap perdamaian, melainkan ekspresi dari rakyat yang merasa bahwa perdamaian itu sendiri telah dikhianati oleh negara.
Dalam etika memori, simbol bukan hanya representasi masa lalu, tapi juga pengingat akan janji-janji yang belum ditepati. Ketika simbol itu muncul kembali, ia membawa serta luka sejarah yang belum sembuh.
Negara seharusnya tidak hanya membaca simbol dengan kacamata keamanan, tetapi juga dengan empati historis. Karena di balik setiap bendera yang berkibar, ada narasi, ada luka, ada harapan yang menuntut pengakuan.
Sayangnya, pendekatan negara terhadap Aceh masih berkutat pada logika kontrol, bukan dialog. Padahal, MoU Helsinki adalah hasil dari perundingan, bukan penaklukan. Maka, semangatnya pun seharusnya adalah rekonsiliasi, bukan represi. Jika negara ingin menjaga perdamaian, maka ia harus hadir bukan hanya saat simbol berkibar, tapi juga saat air naik, saat rakyat kelaparan, saat anak-anak kehilangan sekolah karena longsor.
Perdamaian sejati bukan hanya soal senjata yang diam, tapi juga tentang negara yang hadir dalam penderitaan rakyatnya. Tentang keadilan yang tidak hanya dijanjikan, tapi diwujudkan.
Pengibaran simbol Aceh di tengah bencana adalah cermin. Ia memantulkan wajah negara yang lebih cepat mengamankan simbol daripada menyelamatkan nyawa. Dan itu adalah ironi yang menyakitkan. Maka, daripada sibuk memburu pengibar bendera, lebih baik negara bertanya: mengapa rakyat merasa perlu mengibarkannya? Apa yang telah gagal kita penuhi sebagai bagian dari kontrak damai itu?
Karena jika simbol-simbol lama kembali muncul, itu bukan karena rakyat ingin perang. Tapi karena mereka ingin diingat. Ingin didengar. Ingin diperlakukan sebagai warga negara yang setara. Dan jika negara terus menutup mata, jangan salahkan rakyat jika mereka mulai membuka kembali lembaran sejarah yang selama ini kita pura-pura lupakan.
Banda Aceh, 26 Desember 2025
Memperingati Bencana Gempa Dan Tsunami 2004,
M12H





