Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
DALAM lanskap komunikasi digital kontemporer, istilah “shadowban” merujuk pada sebuah praktik penyembunyian konten oleh sistem algoritmik tanpa pemberitahuan kepada pengguna. Tidak seperti sensor konvensional yang bersifat eksplisit, shadowban bekerja secara diam-diam: konten tetap dapat diposting, namun tidak muncul di linimasa publik atau hasil pencarian. Akibatnya, pesan yang disampaikan tidak menjangkau audiens secara lebih luas, meskipun tidak melanggar ketentuan platform. Fenomena ini “menjadi semakin problematik ketika menyangkut informasi kebencanaan.”
Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang geografis berada di kawasan rawan bencana, seharusnya akses terhadap informasi yang cepat dan akurat merupakan kebutuhan yang mendesak. Jika informasi tentang gempa, banjir, atau evakuasi terhambat oleh algoritma yang memprioritaskan konten viral atau komersial, maka risiko keterlambatan respons publik akan meningkat secara signifikan.
Shadowban terhadap konten kebencanaan bukan hanya soal teknis distribusi informasi, tetapi juga menyangkut hak publik atas informasi yang menyelamatkan. Dalam situasi darurat, keterbatasan akses informasi dapat berujung pada hilangnya nyawa. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa, “shadowban sebagai bagian dari persoalan struktural dalam tata kelola informasi digital.”
Ketimpangan Algoritmik dan Krisis Etika Informasi
Salah satu akar persoalan shadowban adalah adanya dominasi algoritma dalam menentukan visibilitas konten. Algoritma media sosial dirancang untuk mengoptimalkan keterlibatan pengguna (engagement), yang sering kali berarti memprioritaskan konten yang menghibur, kontroversial, atau viral. Dalam logika ini, informasi kebencanaan yang bersifat faktual dan mendesak bisa saja dianggap “kurang menarik” dan akan otomatis terpinggirkan.
Ketimpangan ini mencerminkan relasi kuasa yang timpang antara perusahaan teknologi global dan masyarakat pengguna media sosial, terutama di negara-negara berkembang. Tidak ada mekanisme transparan yang memungkinkan publik mengetahui bagaimana algoritma tersebut bekerja, apalagi mengintervensinya.
Dalam konteks ini, shadowban menjadi simbol dari krisis etika dalam ekosistem digital: “ketika keselamatan publik dikalahkan oleh logika pasar.” Ketimpangan ini juga bersifat geografis. Wilayah-wilayah seperti Aceh, yang secara historis dan geografis rentan terhadap bencana, justru paling terdampak oleh kegagalan sistem informasi digital. Ketika pusat kekuasaan informasi berada di luar jangkauan, baik secara politik maupun teknologis, maka daerah-daerah pinggiran menjadi korban dari sistem yang tidak mereka kendalikan tersebut.
Peran Strategis Media Konvensional dalam Situasi Krisis
Di tengah dominasi platform digital, media penyiaran konvensional seperti radio dan televisi masih memegang peran vital sebenarnya, terutama dalam konteks kebencanaan. Infrastruktur penyiaran analog terbukti lebih tahan terhadap gangguan teknis yang biasa terjadi saat bencana, seperti pemadaman listrik atau gangguan jaringan internet. Gelombang radio AM dan FM, misalnya, tetap dapat menjangkau masyarakat bahkan dalam kondisi darurat sekalipun.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh menyoroti pentingnya mempertahankan dan memperkuat media penyiaran lokal sebagai bagian dari sistem peringatan dini. Langkah ini bukan bentuk resistensi terhadap kemajuan teknologi, melainkan strategi adaptif untuk memastikan keberlanjutan komunikasi publik dalam berbagai skenario krisis.
Dalam hal ini, media konvensional bukanlah warisan masa lalu, melainkan aset strategis dalam manajemen risiko bencana. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan media konvensional dengan sistem digital secara sinergis. Transformasi digital seharusnya tidak berarti penghapusan sistem lama, melainkan penguatan kapasitas kolektif untuk menyebarkan informasi secara cepat, luas dan inklusif. Tanpa pendekatan hibrida ini, masyarakat akan tetap rentan terhadap kegagalan sistem informasi tunggal.
Regulasi, Kedaulatan Informasi, dan Tanggung Jawab Negara
Ketiadaan regulasi yang mengatur transparansi algoritma dan perlindungan informasi publik menjadi celah besar dalam tata kelola digital Indonesia. Hingga saat ini, belum ada kebijakan nasional yang secara eksplisit mengatur bagaimana platform digital harus memperlakukan informasi kebencanaan. UU ITE lebih banyak digunakan untuk penindakan terhadap warganet, ketimbang menjamin hak publik atas informasi yang adil dan setara.
Inisiatif KPI Aceh melalui Qanun Aceh No. 2 Tahun 2024 tentang “pengawasan penyiaran berbasis internet” menjadi preseden penting. Regulasi ini menunjukkan bahwa, “daerah dapat mengambil peran aktif dalam membangun kedaulatan informasi yang berakar pada kebutuhan lokal.” Namun, tanpa adanya dukungan dari pemerintah pusat dan regulator digital nasional, upaya ini akan sangat sulit berdampak secara lebih luas.
Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa, sistem informasi digital tidak menjadi alat eksklusi atau diskriminasi. Ini mencakup kewajiban untuk mengatur transparansi algoritma, menjamin akses terhadap informasi darurat, serta memperkuat ekosistem penyiaran lokal. Dalam hal ini, shadowban bukan hanya isu teknologi, tetapi juga indikator dari kegagalan negara dalam melindungi warganya di ruang-ruang digital.
Literasi Digital dan Kesadaran Kolektif sebagai Pilar Ketahanan Informasi
Selain dibentuknya sebuah regulasi, literasi digital juga menjadi pondasi penting dalam membangun ketahanan informasi masyarakat. Pemahaman publik tentang cara kerja sistemik algoritma, potensi bias sistem dan hak atas informasi merupakan prasyarat untuk menciptakan ruang digital yang adil. Tanpa literasi yang memadai, masyarakat akan terus menjadi korban dari sistem yang tidak pernah mereka pahami.
Pendidikan literasi digital harus mencakup aspek teknis, etis dan politis. Masyarakat perlu diajarkan untuk mengenali tanda-tanda shadowban, memahami bagaimana informasi disaring, serta memiliki keberanian untuk menuntut transparansi dari platform digital. Ini bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi bagian dari pendidikan kewarga-negaraan di era digital.
Dalam jangka panjang, literasi digital yang kritis akan memperkuat posisi masyarakat sebagai subjek aktif dalam ekosistem informasi. Ia memungkinkan warga untuk tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga mengawasi, mengkritisi dan membentuk ulang sistem distribusi informasi yang lebih adil dan manusiawi.
Banda Aceh, 22 Desember 2025
M12H






