Indonesia Investigasi
LAMPUNG – Sugar Group Companies (SGC) sebagai perusahaan gula di Lampung mendapat kritikan keras dari Muhammad Farycho Abung, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (Unila).
Dalam pernyataannya, Farycho menilai SGC tidak hanya menjadi simbol kapitalisme rakus, tetapi juga salah satu aktor utama dalam perampasan ruang hidup rakyat dan penghancuran lingkungan hidup di Provinsi Lampung.
Menurut Farycho, berbagai laporan dan temuan akademik, termasuk hasil Pansus DPRD Tulang Bawang tahun 2017 dan penelitian dosen Universitas Lampung, telah mengungkap sederet pelanggaran yang dilakukan SGC.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di bawah grup ini menguasai ratusan ribu hektare lahan, sebagian di antaranya berada di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.
Temuan itu juga menyoroti adanya penguasaan lahan di kawasan hutan, alih fungsi lahan tanpa prosedur legal, hingga indikasi pelanggaran perpajakan,” terang Farycho, Sabtu (16/8/2025).
Farycho menegaskan bahwa SGC selama ini beroperasi dengan kekuatan modal yang besar untuk memengaruhi kebijakan publik, mengaburkan fakta, dan membentuk opini yang menguntungkan mereka sendiri. Padahal, data BPS Lampung menunjukkan bahwa di wilayah sekitar konsesi SGC, tingkat kemiskinan masih berada di atas rata-rata provinsi.
Bagaimana mungkin sebuah korporasi raksasa yang mengeruk keuntungan triliunan rupiah setiap tahun justru beroperasi di tengah masyarakat yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar?” ujarnya.
Lebih lanjut, Farycho menilai bahwa hubungan SGC dengan elite politik dan birokrasi daerah telah membentuk lingkaran kekuasaan yang mematikan ruang kritik.
Ia menyinggung pernyataan Umar Ahmad, salah satu figur politik di Lampung, yang dinilainya justru menjadi corong pembelaan terhadap SGC. Alih-alih berpihak pada masyarakat, menurut Farycho, segelintir elite politik lainnya malah menggunakan narasi yang menutupi fakta pelanggaran hukum perusahaan.
Pernyataan-pernyataan dari tokoh publik yang membela SGC, seperti elite politik , adalah bentuk nyata dari politik dagang sapi yang menggadaikan kepentingan rakyat demi kepentingan modal. Inilah wajah telanjang oligarki di daerah,” tegasnya.
Lebih lanjut ia mengingatkan para elite politik, seharusnya sadar dan segera tunduk setelah terdapatnya pengakuan Zarof Ricar dalam persidangan beberapa bulan yang lalu, yang telah dijatuhi vonis hukuman 18 tahun penjara karena menyuap hakim kasasi, dimana menurut pengakuannya uang suap puluhan miliar berasal dari SGC.
Atas pengakuan tersebut, dua bos besar PT SGC, Purwanti Lee Cauhoul dan Gunawan Yusuf, resmi dicekal oleh Kejaksaan Agung RI melalui Surat Keputusan Nomor: KEP-76/D/Dip.4/04/2025 dan KEP-77/D/Dip.4/04/2025. Pencekalan itubdilakukan sebagai bagian dari penyidikan terkait dugaan suap yang menyeret nama mantan pejabat, Zarof Ricar.
Pengakuan Zarof merupakan suatu fakta yang harus para elite politik sadari, melindungu bos korporasi itu merupakan suatu kesalahan besar bagi diri mereka sendiri,” tandas Farycho.
Karena itu, menurut Farycho, ia mengajak publik untuk sadar tentang adanya upaya sistematis yang dilakukan SGC bersama aktor politik untuk membungkam kritik. Mulai dari pembentukan opini publik yang menyesatkan, upaya kriminalisasi warga, hingga praktik intimidasi terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil yang bersuara.
Hal itu tentu menjadi catatan sekaligus menunjukkan betapa kuasanya jaringan antara korporasi dan politik lokal di Lampung.
Kita menyaksikan upaya sistematis untuk menutup mulut warga dan mahasiswa yang bersuara, sementara kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi terus dibiarkan,” jelas dia.
Farycho juga menegaskan, bahwa keberadaan SGC tidak bisa dilepaskan dari fakta degradasi lingkungan yang masif. Bahkan dalam pandangannya, kritik terhadap SGC bukanlah gerakan anti-investasi, melainkan perjuangan untuk menegakkan prinsip keadilan sosial dan ekologis. Ia menegaskan bahwa investasi yang merusak lingkungan, memonopoli lahan, dan memiskinkan rakyat adalah bentuk penjajahan gaya baru.
Oleh karena itu, lanjut Farycho, ia mengajak mahasiswa, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat untuk mendorong pemerintah agar membuka seluruh dokumen perizinan, laporan audit lingkungan, serta hasil investigasi Pansus DPRD ke publik sebagai langkah awal menuju penegakan hukum.
Ia juga menekankan bahwa pembiaran terhadap praktik kerakusan korporasi hanya akan memperdalam ketimpangan dan memperkuat oligarki.
Tidak ada demokrasi sejati tanpa keberanian untuk mengungkap kebenaran, dan tidak ada pembangunan yang layak disebut maju jika dibangun di atas penderitaan rakyat dan kerusakan bumi. SGC harus dihadapkan pada hukum, bukan dilindungi oleh politik dagang sapi. Dan kepada para elite politik,bberhentilah menjadi kaki tangan korporasi yang mengorbankan rakyat Lampung,” pungkas Farycho.
Tim