Sekolah Rakyat di Aceh: Solusi Baru atau Pengabaian Identitas Lokal

Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

Indonesia Investigasi 

 

Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

 

Bacaan Lainnya

Kepala Dinas Sosial Aceh menyampaikan, “Kami mendukung penuh program Sekolah Rakyat ini sebagai bentuk langkah konkret untuk mengatasi kesenjangan pendidikan di wilayah-wilayah tertentu. Untuk tahap awal, program ini akan dibangun di tiga titik, yaitu Aceh Barat, Aceh Singkil, dan Subulussalam.” Pernyataan ini memberikan gambaran optimisme pemerintah daerah terhadap program Sekolah Rakyat (SR) sebagai solusi inklusivitas pendidikan. Namun, optimisme ini tidak luput dari perdebatan di kalangan masyarakat terkait relevansi dan efektivitasnya di Aceh.

 

Dayah dan pondok pesantren modern telah lama menjadi fondasi pendidikan di Aceh, tak hanya sebagai pusat ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan agama yang menjadi identitas daerah. Kehadiran SR memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa tidak mengintegrasikan program ini ke dalam institusi dayah dan pesantren yang sudah ada? Tindakan ini tak hanya memperkuat lembaga lokal tetapi juga menjaga kekhususan Aceh sebagai daerah dengan sistem pendidikan berbasis agama Islam yang unik.

 

Kritik terhadap SR berkisar pada kesan bahwa Aceh kehilangan keistimewaannya setiap kali kebijakan nasional diterapkan secara seragam tanpa penyesuaian terhadap konteks lokal. Lalu program ini juga menjadi pilot project yang kemudian akan dikembangkan di wilayah Indonesia lainnya. Dalam hal ini, SR tampak sebagai langkah yang mengabaikan potensi lokal Aceh, termasuk keberadaan dayah dan pesantren modern yang telah lama menjangkau kelompok masyarakat marginal. Bukankah pondok pesantren dan dayah memiliki sejarah panjang dalam memberikan akses pendidikan kepada berbagai lapisan masyarakat, termasuk yang kurang mampu?

 

Selain itu, sebagai daerah dengan desentralisasi pendidikan, Aceh memiliki peluang untuk memanfaatkan kekhususan otonominya dalam mengembangkan program yang benar-benar berbasis lokal. Dengan mengintegrasikan visi inklusivitas SR ke dalam dayah atau pesantren modern, Aceh dapat menciptakan program yang lebih efisien sekaligus menjaga identitas dan nilai-nilai tradisionalnya.

 

Pendekatan integrasi ini juga dapat menghindarkan program pendidikan dari fragmentasi yang melemahkan sistem secara keseluruhan. Selain itu, kerjasama ini berpotensi menciptakan kurikulum yang lebih adaptif dengan menggabungkan nilai agama, kearifan lokal, dan kebutuhan praktis masyarakat. Sayangnya, langkah seperti ini kerap terhambat oleh kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, yang berujung pada kebijakan seragam tanpa memperhatikan kekhususan wilayah.

 

Pada akhirnya, kehadiran SR harus dipandang sebagai tantangan bagi para pembuat kebijakan untuk tidak hanya mengejar angka partisipasi pendidikan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap tradisi dan sistem pendidikan lokal. Apakah Aceh memerlukan pendekatan baru melalui SR atau cukup dengan memperkuat sistem yang telah ada? Diskursus ini menjadi penting untuk menentukan arah pendidikan di Aceh tanpa mengorbankan kekhususan dan keistimewaan yang telah lama menjadi kebanggaan daerah ini. Yang pasti, semangat kebijakan pendidikan di Aceh haruslah selaras dengan identitas lokal dan kebutuhan nyata masyarakatnya.

 

 

Nurhalim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *