Pekanbaru, Riau – Reaksi Penolakan terhadap Perpres Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, pertama-tama datang dari Organisasi Pers Perkumpulan Pers Daerah Seluruh Indonesia (PPDI). Rabu (21/02/2024).
Sikap menolak tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum DPP-PPDI, Feri Sibarani, S.H.,M.H, hari ini di Pekanbaru, dengan menimbang, bahwa dalam Perpres yang sejatinya dapat membangkitkan kesejahteraan insan pers secara adil dengan prinsip-prinsip Demokrasi, namun setelah di cermati pasal demi pasal, dalam Perpres tersebut, ditemukan sejumlah kejanggalan dan unsur-unsur yang dapat merongrong kemerdekaan Pers dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
“Kami selaku organisasi Pers yang resmi berbadan hukum Indonesia, melihat ada beberapa ayat dan pasal dalam Perpres tersebut yang justru akan mengancam kemerdekaan Pers dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Kami tidak yakin jika pasal-pasal dan ayat-ayat itu adalah dari niat bapak Presiden RI, Joko Widodo, melainkan kami duga itu adalah pasal dan ayat titipan pihak yang berkepentingan, atau para “Mafia” dunia Pers Indonesia,” sebut Feri Sibarani.
Hal itu dijelaskan oleh Feri, ketika membandingkan pasal 1 ayat (8) Perpres tersebut, bahwa Perusahaan Pers disebut adalah Badan Hukum Indonesia, yang melakukan penyelenggaraan usaha Pers, yang meliputi Media cetak, Media Elektronik, dan Kantor Berita, serta perusahaan Media lainnya, yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Namun, masih menurut analisa pihaknya, Feri kemudian mengatakan bahwa dalam pasal 6 terjadi suatu kontra understanding dan konflik norma yang sangat jelas yaitu dikatakan, oleh pasal 6, bahwa Perusahaan Pers sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b, dan c, dan huruf f merupakan Perusahaan Pers yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers.
“Nah, di pasal 6 ini langsung terlihat apa maunya Dewan Pers atau pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan besar dari Perpres itu. Kami menganalisa, dari norma itu, justru akan melahirkan kembali persoalan ketidakadilan, ketidakdemokrasian, tidak pancasilais, tidak sepaham dengan prinsip-prinsip bernegara sebagaimana tercantum pada pasal 27 ayat (1) dan (2) dan pasal 33 ayat (1) UUD 1945 tentang kesamaan semua warga di hadapan Negara. Semua orang harus dan wajib mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya, serta medapatkan hak-haknya,” tegas Feri Sibarani.
Selanjutnya Feri Sibarani, selaku ketua Umum DPP-PPDI, juga melihat sebahagian besar peraturan Dewan Pers terutama Peraturan Dewan Pers No. 3/Peraturan-DP/2019 sangat jelas telah menghambat dan menghalangi kemerdekaan Pers di Indonesia.
Demikian juga surat keputusan Dewan Pers dan Surat Edaran yang kerap menjadi permasalahan di kalangan Pers nasional. Ia dengan penuh keheranan mempertanyakan apa sesungguhnya motivasi Dewan Pers dan aliansinya untuk mengatur-atur kehidupan Pers di Indonesia, sebab disebutkan oleh Undang-Undang Pers, bahwa yang menjadi tupoksi Dewan Pers justru harus mengembangkan kemerdekaan Pers itu dari semua sisi.
“Intinya Presiden RI, Joko Widodo, harus benar-benar mencermati pasal demi pasal dan ayat demi ayat dalam perpres itu. Itu benar-benar sudah tidak sesuai dengan asas keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Bahkan secara khusus pasal 6 perpres itu sudah bertentangan dengan norma pada pasal 1 ayat (8), Junto pasal 27 ayat (1) dan (2), junto pasal 33 ayat (1) UUD 1945,” sebutnya.
Menurut Feri Sibarani, Jika Perpres itu tidak dicabut oleh Presiden, maka akan terjadi pelegalan terhadap praktik monopoli ekonomi oleh pihak-pihak tertentu yang berkuasa di Dewan Pers dan Organisasi Pers lainnya, yang selama ini terus merenggut hak-hak wartawan dan perusahaan Pers kecil di daerah seluruh Indonesia dengan dalil Verifikasi perusahaan Pers dan Uji Kompetensi Wartawan.
“Perpres ini kami lihat hanya ingin menguatkan tujuan mereka untuk membunuh kehidupan ekonomi perusahaan Pers kecil di daerah seluruh Indonesia. Cara-cara mereka membuat interpretasi sesat terhadap ketentuan pasal 15 ayat 2 UU Pers dengan menjabarkan penyesatan itu melalui peraturan, sehingga terlihat benar dan kami lihat terjadi pembodohan publik selama hampir dua dekade pasca Reformasi,” tambah Feri.
Menurut Feri Sibarani, adalah perbuatan sangat jahat, memasukkan klausul terverifikasi Perusahaan Pers kedalam sebuah Peraturan Presiden yang seharusnya Presiden bermaksud ingin menolong seluruh insan Pers di Indonesia tanpa terkecuali, dari kehidupan yang memprihatinkan secara ekonomi. Namun oleh karena klausul itu, dapat dipastikan hanya segelintir perusahaan Pers dan kelompok tertentu saja yang akan menikmati hasil kebijakan Kepala Negara.
“Saya minta, ini saatnya bergerak lah wahai para praktisi Pers di manapun di Indonesia ini. Kita sudah di tipu berpuluh tahun. Hak-hak kita sudah mereka rampok dengan cara elegan melalui modus aturan. Undang-undang Pers dengan jelas sudah memberikan semangat kebebasan itu kepada kita, namun begitu saja mereka rampas dengan dalil Verifikasi perusahaan Pers dan UKW. Negara ini sudah mereka buat sesuka hati mereka, dan tidak perduli dengan nasib puluhan ribu wartawan di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Pada akhir pernyataannya, Feri Sibarani juga meminta kepada Presiden RI, Ir. Joko Widodo, agar dapat dengan bijaksana mengevaluasi kembali Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung jawab Platform terhadap Jurnalisme Berkualitas, karena ada Norma yang saling bertentangan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemerdekaan Pers, serta sangat bertentangan dengan pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945.
“Tolong pak Presiden RI, Ir. Joko Widodo, yang kami banggakan, untuk melihat kembali pada pasal 1 ayat (8) dan pasal 6 Perpres Nomor 32 Tahun 2024. Itu sangat menghancurkan harapan puluhan ribu wartawan dan ribuan perusahaan Pers di seluruh daerah di Indonesia. Jangan musuhi kami pak Presiden karena tidak terverifikasi dan tidak UKW. Selama ini Dewan Pers hanya melahirkan permusuhan saja kepada insan Pers kecil di daerah. Kami hanya jadi korban konspirasi rasis dari Dewan Pers karena telah membangun perbedaan dan mengkotak-kotakkan kami karena soal terverifikasi dan UKW. Peraturan Dewan Pers telah merampas hak-hak wartawan dan perusahaan Pers di Indonesia.” Pungkasnya. (Sumber: Konferensi Pers)
(Tim/Red)