Indonesia Investigasi
“COPOT DANREM 011 LILAWANGSA (Kolonel. Inf. Ali Imran)”
ACEH UTARA – Aparat TNI dengan jelas telah melakukan pelanggaran HAM dan melanggar hukum, karena demonstrasi merupakan Hak Azasi Manusia yang telah dijamin oleh Konstitusi UUD Tahun 1945.
Hak konstitusional yang dilakukan oleh Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat di Aceh Utara didasari pada kondisi dan situasi kemuakan dan kemarahan terhadap Pemerintah Republik Indonesia yang sampai saat ini belum menetapkan status Bencana Nasional di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Padahal kondisinya telah darurat, korban banjir berjumlah telah mencapai ribuan, dampaknya telah sistemik dan struktural bahkan setiap harinya masih ada korban yang meninggal dunia, sementara akses kesehatan, makanan, air bersih dan lain sebagainya belum juga membaik.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat di Aceh Utara untuk menuntut agar ditetapkan Bencana Nasional direspon dengan percepatan kebijakan penanganan bencana dengan pendekatan kemanusiaan, bukan dengan agresif militer.
Pembina PWRI Mahmudin (Din Pang) menjelaskan bahwa sebelum demonstrasi ini dilakukan, masyarakat Aceh telah mengibarkan bendera putih di berbagai daerah yang dimaknai sebagai kondisi menyerah pada kondisi yang telah darurat, akan tetapi pemerintah RI juga tidak merespon dengan cepat terhadap masyarakat korban banjir.
Sehingga Masyarakat Aceh mengibarkan bendera Aceh ( yang sudah tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh terdiri dari Pasal 18B UUD Tahun 1945) yang harus dianggap bukan konteks politik tetapi kemandirian untuk menentukan nasib kedaruratannya sendiri, sehingga meminta bantuan/ pertolongan kepada pihak manapun, termasuk lembaga internasional, karena kedaruratan kondisi kemanusiaan.
Dalam hal ini, menurut Din Pang bahwa HAM telah dilanggar, kebebasan berekspresi dilanggar, kebebasan berkumpul untuk menyatakan pendapat juga dilanggar oleh aparat TNI.
Harus kita ketahui bahwa pada dasarnya aparat TNI tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk merespon para demonstrasi. Dan aparat TNI juga telah melanggar hukum, seperti upaya paksa penangkapan terhadap pendemo, padahal dalam hal ini dikenal dalam konteks peradilan pidana, dimana TNI tidak memiliki kewenangan itu diruang masyarakat sipil. Parahnya lagi, bahwa ada tindakan kekerasan dalam bentuk pemukulan/ tendangan yang dilakukan oleh TNI terhadap para demonstran sampai berdarah, bahkan adanya anggota TNI dengan menggunakan senjata laras panjang dan memukulkan senjata tersebut ke kepala para demonstran. Sebenarnya senjata laras panjang TNI itu bisa digunakan dalam konteks perang untuk melawan musuh dari luar Indonesia untuk menjaga kedaulatan NKRI. Pungkasnya Din Pang.
Tindakan represif yang diduga dilakukan aparat gabungan TNI terhadap para demonstrasi dan relawan yang hendak menyalurkan bantuan ke Aceh Tamiang mencerminkan arogansi kekuasaan sebut Din Pang.
Hal ini tidak boleh dibiarkan sama sekali, dan Panglima TNI harus bertanggung jawab dalam situasi ini dan harus merespon dengan tegas terhadap anggota TNI.
Dalam hal ini Presiden Prabowo harus mengevaluasi terhadap lembaga TNI tersebut, maka kami dari PWRI memperingatkan pemerintah RI bahwa sejarah kelam Indonesia telah tertulis bahwa Aceh pernah menuntut kemerdekaan karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. PWRI juga mengharapkan setelah terjadinya perjanjian damai pada tanggal 15 Agustus 2005 tersebut mari sama-sama menjaga perdamaian ini agar utuh dan menjaga masyarakat Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka PWRI menuntut agar :
1. Penyelidikan independen dan transparan yang melibatkan Komnas HAM mutlak diperlukan untuk mengusut tuntas para pelaku kekerasan ini.
2. Mencobot Danrem 011 Lilawangsa (Kolonel. Inf. Ali Imran)
3. Negara harus berhenti menggunakan pendekatan keamanan militeristik dalam merespons inisiatif mahasiswa, pemuda dan masyarakat sipil untuk melakukan aksi damai demonstrasi apalagi di tengah bencana.
4. Negara wajib menjamin keamanan seluruh relawan agar distribusi logistik tidak lagi terhambat, serta membuka akses seluas-luasnya bagi bantuan dari pihak manapun, termasuk internasional, demi keselamatan warga negara.”
King Li
