Pengadilan Nenek Tua dan Hakim Mulia: Kisah Menggugah Nurani

Indonesia investigasi

Sulawesi Selatan – Masih ingat kah dengan kisah seorang nenek yg mencuri singkong di wilayah pulau Sumatra, Indonesia, pada sebuah ruang sidang kecil di tahun 2014 silam, tersaji kisah yang kemudian menggugah hati banyak orang. Seorang nenek tua berdiri di hadapan meja hijau, tubuhnya lemah, wajahnya penuh kepasrahan. Ia diadili atas tuduhan mencuri singkong dari sebuah perusahaan besar yang dikelola oleh PT. AKB_red.

Alasannya sederhana, namun memilukan: kemiskinan. Anak lelakinya sakit parah, cucunya kelaparan, dan ia tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan kepada mereka. Namun, pihak perusahaan tetap teguh pada tuntutannya, meminta nenek itu dihukum sebagai contoh bagi warga lain agar tidak melakukan hal serupa.

Di kursi hakim, Marzuki, seorang pria berwibawa dengan hati yang lembut, duduk mendengarkan dengan saksama. Ia menarik napas panjang sebelum mengucapkan putusannya. “Maafkan saya,” katanya sambil memandang nenek tua itu. “Hukum adalah hukum. Saya tidak bisa memberikan pengecualian.”

Bacaan Lainnya

Hakim Marzuki memutuskan nenek tersebut bersalah. Ia didenda sebesar satu juta rupiah, atau, jika tidak mampu membayar, akan menjalani hukuman penjara selama 2,5 tahun. Mendengar vonis tersebut, nenek itu tertunduk lesu. Hatinya remuk. Bagaimana mungkin ia bisa membayar denda itu?

Namun, apa yang terjadi selanjutnya membuat seluruh ruang sidang tertegun. Hakim Marzuki melepas topi toganya, membuka dompetnya, dan mengeluarkan uang sebesar satu juta rupiah. Ia meletakkan uang itu ke dalam topinya dan berkata kepada seluruh hadirin, “Saya juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di persidangan ini sebesar lima puluh ribu rupiah. Kita semua bertanggung jawab atas kehidupan di kota ini yang membiarkan seseorang kelaparan hingga harus mencuri demi bertahan hidup.”

Panitera segera berkeliling mengumpulkan denda dari setiap orang yang hadir, termasuk dari manajer perusahaan yang menjadi pelapor. Wajah sang manajer memerah, malu atas tuntutannya yang kini terlihat tidak berperikemanusiaan.

Ketika palu diketuk menandai akhir persidangan, nenek itu tidak hanya bebas dari hukuman, tetapi juga menerima uang sebesar 3,5 juta rupiah, jauh lebih besar dari jumlah dendanya. Uang itu dikumpulkan dari hati yang tergerak oleh tindakan Hakim Marzuki.

Kisah ini menjadi pelajaran berharga. Dalam hiruk-pikuk penegakan hukum, keadilan sejati tidak hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga soal memahami rasa kemanusiaan. Hakim Marzuki telah mengajarkan kepada kita bahwa hukum tanpa empati adalah sia-sia. Ia bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menyentuh hati.

Kisah ini tidak hanya menyentuh, tetapi juga menginspirasi, mengingatkan kita untuk melihat orang lain dengan belas kasih, bahkan di tengah tuntutan aturan yang kaku. Di tengah kerumitan dunia, tindakan kecil yang penuh kebaikan mampu menyebarkan harapan kepada banyak orang.

_Oleh : Syarif Al Dhin_
_Penulis adalah seorang kuli Tinta dari Sulawesi Selatan, Indonesia_

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *