Pejabat dan Nurani: Antara Warisan, Kepiluan dan Keadilan dalam Cermin Islam dan Realitas Bangsa

 

Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.

 

Indonesia Investigasi 

Bacaan Lainnya

Dalam setiap zaman, pertanyaan tentang siapa yang layak menjadi pejabat selalu menjadi perbincangan hangat. Apakah jabatan itu adalah sebuah hak istimewa yang diwariskan, apakah hasil dari penderitaan rakyat yang berbuah menjadi simpati, ataukah hanya sebuah panggung bagi para aktor politik yang lihai memainkan peran? Ataukah, lebih getir lagi, jabatan hanyalah milik mereka yang memiliki koneksi, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang tak diundang?

Di Aceh, tanah yang pernah menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara, pertanyaan ini menggema begitu keras dikalangan rakyat yang dalam kesehariannya berjuang mencari nafkah guna menghidupi diri dan keluarganya jauh dari kata “kebijakan untuk semua orang” dan masih bingung apakah posisi mereka sebagai subjek atau objek dari kebijakan tersebut. Dibalik semangat otonomi khusus dan warisan sejarah yang panjang, rakyat bertanya-tanya: apakah semangat keadilan dan amanah masih hidup dalam tubuh kekuasaan?

Dalam Islam, “jabatan bukanlah hak,” melainkan “amanah.” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat” (HR. Bukhari). Hadist tersebut bukanlah sekadar peringatan, tapi penegasan bahwa, jabatan bukan untuk diperebutkan demi kepentingan pribadi.

Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menyebut bahwa, “pemimpin adalah penjaga agama dan pengatur urusan dunia.” Ia bukan pemilik kekuasaan, melainkan “pelayan umat.” Maka, siapa pun yang menjadi pejabat, ia harus datang dari kesadaran untuk melayani, bukan dilayani. Namun realitas hari ini sering kali menyuguhkan ironi. Kita menyaksikan jabatan diwariskan secara turun-temurun, seolah-olah kekuasaan adalah pusaka keluarga. Fenomena dinasti politik menjamur, bahkan di daerah yang mengusung nilai-nilai Islam sebagai dasar tata kelola.

Di sisi lain, ada pula narasi heroik tentang tokoh yang berasal dari rakyat jelata, yang bangkit dari kepiluan dan penderitaan. Namun, tak jarang kisah ini hanya menjadi alat kampanye, bukan cerminan dari keberpihakan sejati mereka kemudian kepada rakyat. Lalu, bagaimana dengan rakyat biasa? Apakah mereka punya peluang yang sama untuk menjadi pejabat? Atau sistem telah sedemikian rupa dikunci oleh jaringan kekuasaan, sehingga tanpa koneksi, rakyat hanya bisa bermimpi?

Dalam Islam, kriteria utama seorang pemimpin adalah “amanah” (dapat dipercaya), “fathanah” (cerdas), “tabligh” (transparan) dan “shiddiq” (jujur). Tidak disebutkan bahwa ia harus anak pejabat, alumni partai besar, atau pemilik modal. Sayyidina Umar bin Khattab pernah mengangkat seorang budak yang merdeka menjadi gubernur karena kapasitas dan integritasnya. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, asal-usul bukanlah penghalang untuk menjadi pejabat, selama ia memenuhi syarat moral dan intelektual. Namun sistem demokrasi kita hari ini sering kali menempatkan popularitas di atas kapasitas dan koneksi di atas integritas. Akibatnya, jabatan menjadi panggung sandiwara, bukan ladang pengabdian. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran politik rakyat. Bahwa memilih pejabat bukan sekadar memilih figur, tapi memilih masa depan. “Rakyat harus sadar bahwa mereka bukan objek, tapi subjek dalam proses politik.”

Pendidikan politik berbasis nilai harus ditanamkan dari sejak dini. Bukan hanya tentang prosedur pemilu, tapi tentang etika kekuasaan, tanggung jawab sosial dan pentingnya nurani dalam kepemimpinan. Para pejabat pun harus kembali bertanya pada diri: “untuk apa mereka menjabat? Jika hanya untuk memperkaya diri, maka jabatan itu akan menjadi beban di dunia dan akhirat.” Tapi jika untuk melayani, maka jabatan itu akan menjadi jalan menuju keberkahan.

Dalam konteks Aceh, yang memiliki kekhususan dalam penerapan syariat Islam, seharusnya nilai-nilai keadilan, transparansi dan keberpihakan pada yang lemah menjadi fondasi utama dalam memilih dan menjalankan jabatan. Kedepan diperlukan membangun sebuah sistem rekrutmen pejabat yang adil dan terbuka. Bukan hanya melalui pemilu, tapi juga melalui mekanisme seleksi berbasis meritokrasi, partisipasi publik dan pengawasan masyarakat sipil. Media dan lembaga pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam membongkar mitos bahwa jabatan hanya milik mereka yang punya koneksi. Mereka harus membuka ruang bagi narasi alternatif: “bahwa rakyat biasa pun bisa menjadi luar biasa.” Kita juga perlu membangun “budaya malu” di kalangan pejabat. Malu jika tidak amanah, malu jika tidak hadir saat rakyat menderita, dan malu jika menjadikan jabatan sebagai warisan keluarga.

Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” Maka, pejabat yang tidak melayani sejatinya telah mengkhianati makna jabatannya. Rakyat pun harus berani menuntut, bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran. Kesadaran bahwa mereka punya hak untuk dipimpin oleh orang yang jujur, adil dan berpihak pada kebenaran.

Maka, mari kita bangun kembali makna pejabat: bukan pewaris, bukan aktor, bukan boneka, tapi pelayan. Pelayan yang lahir dari nurani, dibesarkan oleh integritas, dan bekerja demi kemaslahatan umat. Karena sejatinya, jabatan bukanlah kemuliaan, tapi ujian. Dan hanya mereka yang lulus ujian nurani yang layak disebut pemimpin.

Banda Aceh, 09 November 2025

Narahsi opini ini disusun berdasarkan dialog dengan beberapa masyarakat di Aceh mengenai makna jabatan dan siapa pejabat tersebut.

 

Nurhalim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *