(Penulis: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,)
Indonesia Investigasi
Hukuman mati selalu menjadi topik kontroversial yang memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Dalam konteks pandangan antroposentris dan theosentris, perbedaan mendasar dalam filosofi dan nilai-nilai yang dianut memberikan perspektif yang beragam mengenai penerapan hukuman mati. Pandangan antroposentris menekankan hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu, sementara pandangan theosentris menempatkan hukum ilahi sebagai landasan utama dalam penegakan keadilan.
Pendekatan antroposentris berfokus pada hak hidup yang dianggap sebagai hak fundamental yang tidak boleh dilanggar. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, dan hukuman mati sering kali dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak ini. Negara-negara yang menganut pandangan ini, seperti banyak negara di Eropa, telah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Sebaliknya, pendekatan theosentris menganggap hukuman mati sebagai bagian dari hukum Tuhan yang harus ditegakkan untuk menjaga keadilan dan ketertiban masyarakat. Dalam hukum syariah, hukuman mati diterapkan untuk kejahatan tertentu seperti pembunuhan dan zina, dengan tujuan menegakkan keadilan ilahi. Di Aceh, Indonesia, penerapan hukum jinayah yang berdasarkan syariat Islam mencerminkan komitmen untuk menjalankan hukum Tuhan secara kaffah.
Namun, penerapan hukuman mati dengan pendekatan theosentris tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah sosialisasi dan partisipasi masyarakat. Banyak warga yang belum sepenuhnya memahami substansi dan tujuan dari hukum syariah yang diterapkan. Program sosialisasi yang lebih intensif dan integrasi nilai-nilai syariah dalam kurikulum pendidikan dapat membantu meningkatkan pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap hukum jinayah.
Selain itu, keseimbangan antara hukum syariah dan hukum nasional juga menjadi isu penting. Meskipun Aceh memiliki otonomi khusus untuk menerapkan syariat Islam, tetap ada kebutuhan untuk menyeimbangkan antara hukum syariah dan hukum nasional Indonesia. Kolaborasi antara Mahkamah Syariah dan pengadilan negeri dalam menangani kasus-kasus yang memiliki aspek hukum syariah dan hukum nasional dapat memastikan bahwa penegakan hukum di Aceh tetap sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang diakui secara nasional dan internasional.
Untuk mencapai keseimbangan ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan inklusif. Pemerintah dan lembaga penegak hukum harus bekerja sama dengan tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil untuk merumuskan kebijakan yang adil dan manusiawi. Dialog yang konstruktif dan terbuka antara berbagai pihak dapat membantu menemukan solusi yang menghormati nilai-nilai religius sekaligus menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Secara keseluruhan, perdebatan tentang hukuman mati dalam perspektif antroposentris dan theosentris menunjukkan kompleksitas dalam penegakan hukum yang adil dan manusiawi. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat menciptakan sistem hukum yang tidak hanya menghormati hak asasi manusia tetapi juga mencerminkan nilai-nilai religius yang dianut oleh masyarakat.
Dahrul