Ditulis/disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
Indonesiainvestigasi.com
PADA tahun 2010, di sebuah gedung perpustakaan kampus, saya duduk berjam-jam menekuni lembar demi lembar tulisan Muhammad Natsir. Di antara tumpukan buku dan jurnal, saya menyusun kerangka awal untuk sebuah karya ilmiah yang ingin saya persembahkan sebagai sebuah analisis mendalam tentang konsep negara menurut Muhammad Natsir. Namun, saran dari beberapa dosen membuat saya mengurungkan niat. Mereka khawatir tema tersebut terlalu “ideologis” atau “tidak relevan dengan pendekatan ilmiah kontemporer.” Saya patuhi saran tersebut, namun tidak pernah benar-benar melepaskan gagasan itu.
Kini, lebih dari satu dekade berlalu, saya kembali membuka kenangan itu. Bukan sekadar nostalgia, tetapi sebuah refleksi tentang bagaimana seharusnya kita memahami “negara” bukan sebagai mesin kekuasaan, melainkan sebagai amanah moral. Dalam pemikiran Natsir, negara bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menegakkan nilai-nilai Islam yang bersifat universal berdasarkan keadilan, kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.
Natsir tidak pernah memaksakan bentuk negara Islam yang rigid. Ia menolak anggapan bahwa Islam hanya bisa ditegakkan dalam sistem khilafah semata. Dalam tulisannya, ia menyebut bahwa “Islam tidak menentukan bentuk negara tertentu, tetapi menuntut isi dan jiwa dari negara itu.” Di sinilah letak kekuatan pemikiran Natsir yaitu; fleksibel dalam bentuk dan tegas dalam nilai.
Konsep “negara sebagai alat” menjadi istilah kunci dalam pemikiran Natsir. Ia menempatkan negara sebagai instrumen untuk mewujudkan maqashid syari’ah (tujuan-tujuan luhur syariat yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) sebagai dasar awal. Negara, dalam pandangan ini, bukan sekadar sebuah institusi politik, tetapi merupakan ruang etis dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan spiritual.
Dalam konteks Indonesia, Natsir menunjukkan kecerdasan politik yang luar biasa. Ia tidak menolak pluralisme, tetapi justru merangkulnya dalam kerangka Islam yang “rahmatan lil ‘alamin.” Ia aktif dalam perdebatan konstitusional demi memperjuangkan agar dasar negara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun tetap inklusif terhadap keberagaman bangsa.
Salah satu gagasan penting Natsir adalah “integrasi agama dan politik.” Ia menolak “sekularisme” yang memisahkan agama dari urusan publik. Baginya, Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh, mencakup aspek spiritual, sosial, ekonomi dan politik. Negara yang ideal adalah negara yang memungkinkan umat Islam menjalankan ajarannya secara bebas dan bertanggung jawab.
Natsir juga menekankan pentingnya sikap dan karakter kepemimpinan yang adil dan amanah. Ia tidak terpaku pada simbol atau gelar seperti khalifah atau imam besar. Yang ia tekankan adalah kualitas seorang pemimpin yang adil, jujur dan mampu menjaga kemaslahatan umat. Dalam hal ini, ia mengutip prinsip “al-imamah al-‘uzma” sebagai tanggung jawab besar, bukan hanya sekadar pangkat/jabatan.
Dalam tulisan-tulisannya, Natsir sering menggunakan istilah “negara tauhid.” Bukan dalam arti teokrasi, tetapi negara yang dibangun atas prinsip keesaan Tuhan sebagai landasan moral dan sosial. Tauhid, bagi Natsir, bukan hanya doktrin teologis, tetapi fondasi etika publik yang menolak kesewenang-wenangan dan menegakkan keadilan.
Saya teringat bagaimana pada tahun 2010 saya ingin mengangkat gagasan ini sebagai kritik terhadap praktik politik yang korup dan manipulatif. Saya ingin menunjukkan bahwa, pemikiran Natsir sangatlah relevan dalam berupaya membangun negara yang bersih, adil dan berorientasi pada pelayanan publik. Namun, suara-suara akademik saat itu lebih memilih pendekatan teknokratis dan netralitas metodologis.
Kini saya menyadari bahwa pemikiran Natsir justru menawarkan jalan tengah antara idealisme dan realitas. Ia tidak menolak modernitas, tetapi mengisinya dengan nilai-nilai Islam yang kontekstual. Ia tidak anti-demokrasi, tetapi mengusulkan demokrasi yang berakar pada etika dan tanggung jawab.
Dalam konteks Aceh, tempat saya tumbuh dan belajar, gagasan Natsir tentang negara sebagai amanah sangat relevan. Aceh memiliki sejarah panjang perjuangan Islam dan otonomi politik. Pemikiran Natsir bisa menjadi jembatan antara aspirasi lokal dan visi nasional yang berkeadilan.
Saya juga melihat bahwa Natsir tidak hanya berbicara tentang negara, tetapi tentang manusia, kebebasan berpikir secara intelektual dan transidensi sebagai pemaknaan Ilahiyah. Ia menekankan pentingnya pendidikan, kesadaran dan partisipasi aktif warga negara. Negara yang baik, menurutnya, lahir dari masyarakat yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.
Dalam era digital dan globalisasi, pemikiran Natsir tetap hidup. Ia mengajarkan bahwa Islam bukanlah penghalang bagi kemajuan, tetapi sumber inspirasi untuk membangun peradaban yang beradab. Negara bukanlah medan perebutan kekuasaan, tetapi merupakan ruang untuk menebar maslahat dan merawat kemanusiaan.
Saya menyesal tidak menulis karya ilmiah itu dulu. Tapi saya tidak menyesal pernah memimpikannya. Karena mimpi itu kini menjadi bahan bakar untuk terus menulis, berbicara dan menghidupkan kembali gagasan-gagasan besar yang pernah saya temui di antara lembaran buku tua.
Natsir telah mengajarkan yang seharusnya adalah pemikiran bukanlah untuk disimpan, tetapi untuk diperjuangkan. Ia tidak hanya menjadi tokoh sejarah, tetapi guru moral yang mengingatkan kita bahwa negara adalah amanah, bukan alat untuk dominasi.
Kini, saya ingin menjadikan tulisan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap gagasan yang pernah saya cintai sebagai semangat intelektual yang tidak pernah padam. Karena dalam setiap lembar pemikiran Natsir, saya menemukan sebuah harapan bahwa negara bisa menjadi ruang suci untuk menegakkan keadilan, merawat perbedaan dan menghidupkan nilai-nilai ilahiyah dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini saya mengajak para generasi muda secara kolektif untuk melihat serta mengingat kembali legacy beliau.
Dan mungkin, inilah saatnya saya menulis ulang gagasan itu. Bukan sebagai karya ilmiah yang tertunda, tetapi sebagai warisan pemikiran yang terus hidup dalam hati dan tindakan. Sebuah negara yang tidak hanya dibangun secara normatif oleh hukum, tetapi oleh nurani. Sebuah negara yang tidak hanya kuat, tetapi juga bermartabat.
-M12H-







