MoU Helsinki, Otonomi Aceh, dan Migas: Antara Janji Damai dan Realitas Kuasa Negara

 

 

Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI

Pemerhati/pengamat,

Bacaan Lainnya

 

Indonesiainvestigasi.com

 

DALAM sejarah panjang konflik Aceh, MoU Helsinki tahun 2005 dianggap sebagai mahakarya diplomasi damai yang menyelamatkan ribuan nyawa dan membuka jalan bagi integrasi yang lebih bermartabat. Namun, dua dekade berselang, janji-janji yang terpatri dalam dokumen perdamaian tersebut menghadapi tantangan nyata dalam implementasinya. Bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyentuh persoalan mendasar: seberapa serius negara menghormati perjanjian yang ditandatanganinya?

 

Salah satu aspek paling sensitif adalah peningkatan kehadiran militer di Aceh. Ketika TNI merencanakan penambahan batalyon tanpa konsultasi terbuka, banyak kalangan menilai hal ini melanggar butir 4.7 dan 4.8 dalam MoU Helsinki. Langkah tersebut dianggap sebagai kemunduran dari semangat rekonsiliasi dan sebagai sinyal bahwa ketakutan masa lalu masih menghantui ruang publik Aceh. Ketika trauma bersenjata belum sepenuhnya pulih, ketegangan psikologis masyarakat justru diperparah oleh pendekatan kekuatan negara.

 

Mekanisme penyelesaian sengketa atas pelanggaran MoU nyaris tak terlihat hari ini. Misi Monitoring Aceh (AMM) telah lama bubar, dan tak ada institusi baru yang mengambil peran untuk mengawasi keberlangsungan semangat MoU. Kekosongan ini menciptakan ruang bagi interpretasi sepihak oleh pemerintah pusat, menjadikan semangat otonomi Aceh kian terancam oleh logika birokrasi nasional yang sering kali tidak memahami konteks lokal.

 

Dari sisi hukum tata negara, posisi MoU memang tidak memiliki kekuatan konstitusional langsung. Namun, lahirnya UU No. 11/2006 adalah pengakuan formal bahwa MoU harus hidup dalam praktik pemerintahan. Ketika implementasi undang-undang tersebut dibatasi oleh regulasi teknis yang tidak sinkron, seperti dalam persoalan pengelolaan migas, maka esensi dari otonomi Aceh menjadi semu: dibolehkan secara hukum tapi terhambat secara struktural.

 

Pengelolaan migas menjadi medan tarik menarik antara semangat kedaulatan lokal dan dominasi pusat. Skema bagi hasil 70:30 yang menguntungkan Aceh di atas kertas, tak serta merta menjamin kendali penuh atas eksplorasi dan produksi. BPMA sebagai badan pengelola bersama masih tunduk pada instruksi dan regulasi kementerian di Jakarta, sehingga Aceh tetap berada dalam posisi “mengelola dalam pengawasan”.

 

Masalah menjadi kompleks ketika sekitar 40 peraturan menteri di sektor energi belum diselaraskan dengan kekhususan Aceh. Ketika daerah memiliki undang-undang khusus, tetapi tak mampu menundukkan regulasi kementerian teknis, maka relasi Aceh dan pusat menjadi timpang. Aceh bukan sepenuhnya mandiri, melainkan sekadar diberi ruang simbolik dengan kontrol yang tetap berada di tangan pusat.

 

Partai politik lokal, simbol daerah, dan lembaga-lembaga adat seperti Wali Nanggroe seharusnya menjadi representasi identitas dan aspirasi lokal. Namun, eksistensi mereka kerap terpinggirkan oleh kekhawatiran akan separatisme. Negara enggan memberi ruang penuh, takut membuka kembali luka lama, padahal justru melalui penguatan lokalitas-lah MoU Helsinki menemukan relevansinya.

 

Kontroversi dalam konteks Aceh bukan hanya soal pelanggaran atau perbedaan interpretasi, melainkan tentang kejujuran politik negara dalam menjalankan perjanjian damai. Bila kekhususan Aceh terus diabaikan atau dilemahkan secara struktural, maka potensi konflik laten bisa kembali muncul dalam bentuk ketidakpercayaan, alienasi politik, atau kekecewaan publik yang terus membara.

 

Aceh telah menunjukkan komitmennya terhadap perdamaian. Kini, tanggung jawab ada pada negara untuk membuktikan bahwa MoU Helsinki bukan sekadar dokumen diplomatik, melainkan janji historis yang harus dijalankan dengan integritas, keberanian, dan penghormatan terhadap hak-hak daerah. Kalau tidak, maka perdamaian hanya akan menjadi narasi kosong yang tertulis indah namun dijalankan setengah hati.

 

#JanjiDamaiSetengahHati – #AcehUntukSiapa – #MoUHelsinkiDilupakan – #MigasAcehBukanMilikAceh – #OtonomiYangTertawan

 

Nurhalim,

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *