Indonesia Investigasi
PADANG, SUMATERA BARAT – Perkara Sengketa lahan yang mencuat di Kota Padang antara pihak LLDIKTI dengan warga (Lidiawati 38), merupakan ibu rumah tangga asal RT 003 RW 001 Kelurahan Kurao Pagang, Kecamatan Nanggalo, persoalan ini sudah berdampak buruk terhadap Lidiawati yang mengaku terkejut saat menerima surat teguran dan permintaan pengosongan lahan oleh LLDIKTI, (1/5).
Memang sejak menerima undangan dikejaksaan tinggi Sumbar 12 September 2024 , Lidia sudah mendapat peringatan untuk segera mengosongkan tanahnya. Namun karena ia yakini sebagai warisan turun-temurun keluarganya, ia tidak bersedia beranjak dari tanah yang sudah ia dirikan rumah berpuluh tahun itu.
Tanah tersebut, menurut Lidia, telah ditempati keluarganya sejak tahun 1973 dan merupakan pusaka tinggi yang sebelumnya dikelola oleh ninik mamak. Berdasarkan kesepakatan keluarga besar pada tahun 1983, hak pengelolaan dialihkan kepada ibunya, almarhumah Syamsidar. Namun, setelah para orang tua dan paman-pamannya wafat, muncul pihak-pihak yang mengklaim tanah itu sebagai milik kementerian, dengan mengatasnamakan LLDIKTI.
“Anehnya, setelah orang tua kami tiada, tiba-tiba ada yang mengaku-ngaku tanah ini milik negara. Bahkan, ada yang sudah membangun bengkel di atasnya tanpa izin. Salah satunya Datuk Motor,” ujar Lidia kepada awak media.
Lebih lanjut, Lidia menyampaikan kekecewaannya karena saat pertemuan di Kejaksaan Tinggi, ia tidak hanya ditegur, tetapi juga diminta segera meninggalkan lahan tersebut tanpa ada penjelasan hukum yang mendalam. Ia juga merasa diperlakukan tidak adil, bahkan mendapat tekanan saat menyampaikan pembelaan.
Saya berkata dengan baik , tapi justru saya yang balik di bentak .
Padahal ini memang dasar dari lahan ini Pusako tinggi kaum saya . Yang menjadi peralihan kepada Syamsidar ( alm) dan suaminya Anas (alm ) mereka berdua adalah orang tua kandung saya.”ucapnya.
Surat pernyataan tersebut di buat tanpa ada tekanan dari pihak manapun , di buat di atas segel dan di tanda tangani oleh anggota kaum dan beberapa para saksi.” Pungkas Lidia.
Lurah Kurao Pagang yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menurut Lidia, juga menyatakan keberatan atas desakan pengosongan tanpa dasar hukum yang sah. Pihak kelurahan menegaskan bahwa segala bentuk pengambilalihan lahan harus melalui proses hukum yang adil dan transparan.
Ironisnya, belakangan ini, eksekusi lahan tersebut tetap dipaksakan. Situasi ini justru terjadi lantaran didorong oleh pengacara pilihan pihak Lidiawati, yang diduga berasal dari pihak LLDIKTI. Mirisnya Pengacara yang diharapkan Lidia bisa membantu memperjuangkan haknya, malah ikut menandatangani surat teguran pengosongan lahan atas nama Lidia.
Lidia sendiri mengaku bahwa pengacara tersebut diperkenalkan oleh kakak iparnya—yang sebelumnya dicurigai memiliki niat untuk menguasai tanah warisan keluarga. Tapi lantaran dia anggap bagian dari keluarganya, Lidia masih percaya kakak iparnya ini membela hak keluarganya.
“Tidak mungkin Zainal, tidak membela hak kami. Karena anak anak Zainal itu keponakan saya dari kakak perempuan saya yang sudah almarhum” Ujar Lidia saat dikonfirmasi media ini via telepon saat itu.
Kasus ini menjadi contoh betapa lemahnya posisi warga dalam sengketa lahan, terutama ketika keterbatasan pengetahuan hukum dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan.
Sebagai catatan, praktik-praktik seperti ini tidak jarang terjadi di berbagai daerah: ketika seorang warga awam menghadapi pihak yang mengatasnamakan lembaga atau membawa dokumen resmi, maka hukum bisa tampak membisu di depan ketimpangan pemahaman. Apalagi jika peran mediator seperti pengacara justru tidak sepenuhnya berpihak pada kliennya sendiri.
Kondisi ini juga membuka celah bagi apa yang kerap disebut sebagai mafia tanah—yakni oknum yang memanfaatkan celah administrasi, lemahnya data historis masyarakat adat, hingga minimnya perlindungan hukum terhadap tanah warisan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin pusako tinggi akan semakin terpinggirkan di negeri sendiri.
Lidia tinggal berharap aparat penegak hukum bisa bersikap adil dan objektif, serta menjunjung tinggi adat dan aturan hukum yang berlaku di ranah Minang. Ia tetap berpegang teguh pada bukti waris dan prinsip bahwa tanah pusako tinggi tidak dapat serta-merta diubah statusnya menjadi aset negara tanpa proses hukum dan persetujuan adat yang jelas. Namun justru yang dialami Lidia tidak demikian. Lidia merasa tidak ada yang mau menolong diri dan keluarga nya disaat haknya terancam terampas oleh ketidak adilan.
Media ini akan terus menelusuri kasus tersebut dan mengupayakan konfirmasi dari pihak LLDIKTI maupun instansi terkait lainnya.
Penulis: Ermawati