Merehabilitasi Kejujuran Akademik: Saatnya Berpikir dan Bertindak dengan Integritas

Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

 

Indonesiainvestigasi.com

Opini ini ditulis berdasarkan hasil diakusi dengan beberapa pendidik dan tenaga pengajar yang ada di seputaran kota Banda Aceh dan Aceh Besar Provinsi Aceh yang mungkin memiliki keresahan yang sama di kabupaten/kota atau bahkan di seluruh Indonesia secara nasional. Keresahan ini membuat hati dan pikiran agak terganggu, sehingga ditukilkan dalam opini ini, dengan harapan besar “integritas” itu akan hadir melawan segala macam bentuk ketidak-jujuran ini dihadapan kita dengan meminimalkan lalu hilang dalam prakteknya.

Bacaan Lainnya

 

Dalam dunia akademik, pengetahuan bukan sekadar hasil hafalan atau kumpulan data yang dikumpulkan dalam lembaran makalah. Ia adalah fondasi berpikir yang membentuk keputusan, kebiasaan, dan karakter seseorang. Namun, ketika kepalsuan akademik merajalela, kita harus bertanya: apakah kita masih benar-benar menghargai nilai pengetahuan, atau hanya sekadar mengejar formalitas gelar?

 

Plagiarisme, manipulasi data, dan praktik curang lainnya bukan sekadar pelanggaran aturan. Mereka mencerminkan pola berpikir yang keliru—sebuah keputusan sekali diambil yang perlahan menjelma menjadi kebiasaan, hingga akhirnya melekat sebagai karakter. Dan karakter ini tidak berhenti di dunia akademik; ia meluas ke dalam kehidupan sehari-hari, merembes ke etika kerja, kepemimpinan, dan bahkan kepercayaan publik terhadap institusi.

 

Ketika seseorang terbiasa mengambil jalan pintas, ia bukan hanya merusak sistem pendidikan, tetapi juga mengikis kredibilitas ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebab, ilmu yang diperoleh tanpa usaha sejati bukanlah ilmu yang sesungguhnya. Ia hanyalah fatamorgana yang memberi kesan kompetensi palsu—sebuah kebohongan yang akhirnya terungkap saat individu harus menghadapi dunia nyata yang menuntut solusi berbasis pemikiran kritis dan inovasi.

 

Kita harus mengakui bahwa kejujuran akademik kadang membawa ketidaknyamanan. Tidak semua orang siap menerima kenyataan bahwa menulis, meneliti, dan berpikir adalah proses yang memakan waktu, energi, serta kesabaran. Menghindari plagiarisme berarti menghadapi tantangan intelektual dengan jujur, bahkan jika hasilnya tidak selalu sempurna. Namun, justru dalam ketidaksempurnaan itulah seseorang belajar, berkembang, dan menemukan substansi sejati dari ilmu yang mereka dalami.

 

Kesadaran ini harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan bukan sekadar mempelajari teori, tetapi juga membentuk sikap. Jika kita ingin sistem akademik yang bermartabat, kita harus mengubah cara pandang terhadap kejujuran. Kita perlu mengapresiasi usaha, bukan sekadar hasil akhir. Kita harus berhenti mengagungkan nilai tinggi yang diperoleh dengan cara curang dan mulai menghargai pencapaian yang diperoleh dengan keringat dan kerja keras.

 

Institusi akademik memiliki tanggung jawab besar dalam membangun budaya ini. Penerapan teknologi pendeteksi plagiarisme hanyalah solusi teknis. Yang lebih penting adalah membentuk pola pikir yang menghargai integritas, baik melalui kurikulum yang menekankan orisinalitas maupun sistem evaluasi yang menilai proses, bukan sekadar angka. Para pendidik harus menjadi teladan, bukan sekadar penegak aturan.

 

Inilah saatnya untuk merehabilitasi kejujuran akademik. Jika kita menginginkan generasi yang mampu berpikir secara mandiri, menyelesaikan masalah dengan logika, dan berkontribusi bagi masyarakat, maka kita harus mengutamakan nilai kejujuran dalam setiap aspek pendidikan. Karena pada akhirnya, ilmu yang diperoleh dengan kejujuran adalah ilmu yang benar-benar memberi makna bagi individu dan dunia di sekitarnya.

 

 

Nurhalim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *