Menjembatani Luka, Merawat Persatuan

Oleh : Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.

DI TENGAH upaya pemulihan pascabencana dan dinamika sosial yang kompleks, muncul sebuah pernyataan yang menyoroti tindakan sekelompok warga yang melakukan konvoi seruan kemerdekaan. Pernyataan tersebut menilai aksi itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap bantuan yang telah diberikan oleh aparat negara, khususnya TNI, yang disebut telah bekerja “semaksimal mungkin.” Tuduhan ini, meski lahir dari keprihatinan, perlu disikapi dengan kepala dingin dan hati terbuka. Kita tidak bisa menafikan bahwa, TNI telah memainkan peran penting dalam membantu masyarakat di masa-masa sulit.

Dalam konteks bencana, kehadiran mereka di garis terdepan adalah wujud nyata dari amanat Pasal 30 UUD 1945, yang menegaskan bahwa: “TNI bertugas menjaga kedaulatan negara dan membantu masyarakat dalam keadaan darurat”. Namun, pengabdian negara kepada rakyat bukanlah transaksi yang menuntut balas budi, melainkan sebuah kewajiban sebagaimana telah diatur secara konstitusional.

Lalu sebaliknya, suara-suara yang menyerukan kemerdekaan, betapapun kontroversialnya, tidak serta-merta dapat dicap sebagai bentuk pengkhianatan. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Ini adalah hak dasar yang tidak bisa dibatalkan hanya karena seseorang menerima bantuan negara. Kita perlu memahami bahwa ekspresi politik, termasuk dalam bentuk konvoi atau simbol-simbol identitas, sering kali merupakan cerminan dari luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Di banyak wilayah Indonesia, termasuk Aceh, sejarah panjang konflik dan ketidakadilan masih membekas dalam ingatan kolektif masyarakat. Maka, ketika sebagian warga memilih untuk menyuarakan aspirasi mereka, itu bukan semata-mata karena mereka “terprovokasi,” melainkan karena ada narasi yang belum selesai.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks ini, “pendekatan yang mengedepankan empati dan dialog jauh lebih produktif daripada retorika yang menyudutkan”. Kita perlu bertanya: apa yang mendorong sebagian warga untuk tetap merasa terasing dari narasi kebangsaan yang dominan? Apakah ada ruang yang cukup bagi mereka untuk merasa diakui, didengar dan dihargai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Pancasila, sebagai dasar negara, memberikan panduan moral yang sangat relevan. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” menuntut kita untuk memperlakukan setiap warga negara dengan martabat dan keadilan. Sementara sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” bukan berarti penyeragaman, melainkan pengakuan atas keberagaman sebagai kekuatan. Kita juga tidak boleh melupakan sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Ini adalah ajakan untuk menyelesaikan perbedaan melalui musyawarah, bukan melalui stigmatisasi. Ketika negara dan rakyat saling mendengarkan, maka ruang-ruang kebuntuan bisa terbuka menjadi jembatan pengertian.

Penting untuk disadari bahwa narasi “sudah dibantu, tapi malah membangkang” menyiratkan relasi kuasa yang timpang. Ia mengandaikan bahwa bantuan negara adalah kemurahan hati, bukan kewajiban. Padahal, dalam sistem demokrasi, negara ada karena rakyat, bukan sebaliknya. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat.”

Dalam situasi seperti ini, yang kita butuhkan bukanlah saling menyalahkan, melainkan saling memahami. Kritik terhadap negara, jika disampaikan secara damai, adalah bagian dari mekanisme koreksi yang sehat. Ia menjadi pengingat bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal keadilan, pengakuan dan rekonsiliasi. Kita juga perlu menghindari jebakan dikotomi: antara “yang membantu” dan “yang dibantu,” antara “nasionalis” dan “pengkhianat.” Realitas sosial jauh lebih kompleks dari itu. Banyak warga yang mencintai tanah air, namun tetap merasa perlu menyuarakan ketimpangan yang mereka alami. Mereka bukan musuh negara – mereka adalah bagian dari bangsa ini yang sedang mencari tempatnya dalam narasi besar Indonesia. Kita tidak menoleransi kekerasan atau tindakan yang melanggar hukum. Namun, kita juga tidak boleh serta-merta mengkriminalisasi ekspresi politik yang damai. Negara yang kuat bukanlah negara yang menekankan perbedaan, melainkan yang mampu merangkulnya dalam bingkai hukum dan keadilan.

Dalam konteks Aceh, kita telah melalui masa-masa kelam yang panjang. Perjanjian Helsinki 2005 bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari proses panjang membangun kepercayaan. Jika masih ada suara-suara yang merasa belum merdeka, maka tugas kita bukan membungkamnya, tetapi mendengarkan dan mencari akar masalahnya.

Sebagai bangsa, kita sedang belajar menjadi dewasa. Dewasa dalam menyikapi kritik. Dewasa dalam menerima perbedaan. Dewasa dalam memahami bahwa: “cinta tanah air tidak selalu berbentuk seragam dan barisan, tetapi juga bisa hadir dalam bentuk pertanyaan, gugatan, bahkan penolakan”. Maka, mari kita rawat persatuan bukan dengan menekan, tetapi dengan membuka ruang. Mari kita hargai jasa para aparat, tanpa menjadikannya alasan untuk menutup telinga terhadap suara rakyat. Karena pada akhirnya, negara ini berdiri bukan hanya di atas kekuasaan, tetapi di atas kepercayaan.

Dan kepercayaan itu hanya tumbuh jika kita segenap rakyat dan negara bersedia duduk bersama, mendengar dan mengakui bahwa: “luka sejarah tidak bisa disapu bersih dengan sapu yang disebut retorika”. Ia hanya bisa disembuhkan dengan kejujuran, keadilan dan keberanian untuk berubah.

Jika kita benar-benar ingin Indonesia yang damai dan bersatu, maka kita harus mulai dari sini: dari keberanian untuk tidak saling menyalahkan, dan dari kerendahan hati untuk saling memahami. Karena bangsa yang besar bukan yang tak pernah berselisih, tetapi yang mampu menyelesaikan perbedaan dengan adab dan kasih sayang.

Banda Aceh, 27 Desember 2025

M12H

 

 

 

Pos terkait