Menjaga Garis Batas: Hakim, Polisi dan Status Quo dalam Regulasi Hukum Acara

Ditulis/disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H,I.,

 

Indonesiainvestigasi.com

DALAM sistem hukum yang sehat, pemisahan kekuasaan bukan sekadar prinsip konstitusional, melainkan fondasi etis dan praktis yang menjamin keadilan. Di antara tiga cabang kekuasaan negara, diantaranya: eksekutif, legislatif dan yudikatif, dalam hal tersebut hakim memiliki peran sebagai penjaga keadilan dan polisi sebagai pelaksana penyidikan harus dijaga dalam batas yang jelas dan tegas. Ketika regulasi hukum acara pidana mulai mengaburkan batasan ini, maka yang terancam bukan hanya hak individu, tetapi juga integritas sistem hukum itu sendiri.

Bacaan Lainnya

 

Hakim berada dalam ranah yudikatif. Ia bukan sekadar pemutus perkara, tetapi juga pengontrol legalitas tindakan aparat penegak hukum. Dalam proses peradilan pidana, hakim berfungsi sebagai penyeimbang antara kekuasaan negara dan hak-hak warga negara. Ia memastikan bahwa setiap tindakan penyidikan dan penahanan dilakukan sesuai hukum, lalu tidak berdasarkan asumsi, tekanan atau kepentingan politik.

 

Sebaliknya, polisi berada dalam ranah eksekutif, khususnya sebagai penyidik dan penyelidik. Tugas mereka adalah mengumpulkan alat bukti, melakukan investigasi dan menyerahkan hasilnya kepada jaksa penuntut umum. Polisi bukanlah pemutus perkara dan tidak memiliki kewenangan untuk menilai bersalah atau tidaknya seseorang. Mereka bekerja dalam koridor hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan diawasi oleh lembaga yudikatif.

 

Ketika regulasi seperti RUU KUHAP memberikan kewenangan kepada polisi untuk menyadap, menggeledah dan menahan tanpa persetujuan dari hakim, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi yang berpotensi “berbahaya.” Polisi yang seharusnya tunduk pada kontrol yudikatif, justru diberi ruang untuk bertindak sebagai penentu hukum secara sepihak. Ini bukan hanya pelanggaran prinsip pemisahan kekuasaan, tetapi juga ancaman terhadap hak asasi manusia.

 

Dalam konteks hukum acara pidana, persetujuan hakim bukanlah formalitas. Ia adalah mekanisme kontrol yang menjamin bahwa tindakan penyidikan tidak melampaui batas. Tanpa persetujuan hakim, penyadapan bisa berubah menjadi pengintaian yang sewenang-wenang, penggeledahan menjadi invasi privasi dan penahanan menjadi bentuk intimidasi. Hakim berfungsi sebagai pagar etis dan legal terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan.

 

RUU KUHAP dengan adanya pemberlakuan beberapa aturan tersebut di dalamnya dapat menghapus atau mengurangi peran hakim dalam proses awal penyidikan menciptakan status quo baru yang tidak sehat. Ia akan menempatkan polisi dalam posisi yang dominan, seolah-olah mereka adalah pemilik kebenaran. Padahal, dalam sistem hukum yang adil, kebenaran harus diuji, bukan diasumsikan. Dan pengujian itu hanya bisa dilakukan oleh hakim yang independen.

 

Desain regulasi harus mencerminkan status quo yang menjamin keseimbangan. Polisi harus tetap menjadi pelaksana teknis penyidikan, bukan pemegang otoritas hukum. Hakim harus tetap menjadi pengontrol legalitas, bukan sekadar pelengkap administratif. Ketika regulasi mengaburkan peran ini, maka yang terjadi nantinya adalah ketimpangan kekuasaan dan berpotensi akan terjadinya kriminalisasi secara meluas.

 

Dalam praktiknya, akan banyak kasus yang bakal terjadi akibat adanya kewenangan yang tidak adanya kontrol yudikatif yang memadai. Penangkapan tanpa surat perintah, penggeledahan tanpa dasar hukum dan penyadapan yang tidak transparan adalah contoh nyata dari sistem yang kehilangan keseimbangan. Regulasi yang baik harus mencegah, bukan sebaliknya malah memfasilitasi terjadinya praktik semacam ini.

 

RUU KUHAP seharusnya memperkuat posisi hakim dalam proses hukum, bukan melemahkannya. Ia harus menegaskan bahwa setiap tindakan penyidikan yang menyentuh hak privat warga negara harus melalui persetujuan yudikatif. Ini bukan soal birokrasi, tetapi soal prinsip bahwa, “negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap warganya.”

 

Dalam hukum Islam, prinsip keadilan ditegakkan melalui mekanisme musyawarah dan pembuktian yang adil. Tidak ada ruang bagi tuduhan sepihak atau tindakan represif tanpa dasar. Bahkan dalam sejarah klasik, para khalifah pun tunduk pada pengadilan ketika ada sengketa. Ini menunjukkan bahwa kontrol yudikatif adalah bagian dari etika hukum yang universal.

 

RUU KUHAP yang mengaburkan peran hakim juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Ketika warga merasa bahwa tidak ada lagi pagar hukum yang melindungi mereka dari tindakan aparat, maka yang tumbuh adalah rasa takut, bukan rasa hormat terhadap hukum. Ini berbahaya bagi stabilitas sosial dan politik.

 

Sebagai negara hukum, Indonesia harus menegaskan bahwa, “kekuasaan tidak boleh terkonsentrasi.” Polisi yang diberi kewenangan tanpa kontrol yudikatif akan cenderung bertindak berdasarkan insting, bukan hukum. Hakim yang dilemahkan akan kehilangan fungsi pengawasan. Dan warga negara akan kehilangan perlindungan.

 

Oleh karena itu, setiap regulasi hukum acara pidana harus dirancang dengan prinsip keseimbangan. Ia harus menempatkan hakim sebagai penjaga keadilan dan polisi sebagai pelaksana teknis. Tidak boleh ada tumpang tindih yang membingungkan, apalagi membuka ruang bakal terjadimya penyalahgunaan.

 

RUU KUHAP harus dikaji ulang dengan pendekatan etik, konstitusional dan praktis. Ia harus menjawab pertanyaan mendasar: apakah regulasi ini memperkuat keadilan atau justru membuka ruang bagi ketidakadilan? Apakah ia menjaga status quo yang sehat atau menciptakan ketimpangan baru?

 

Dalam dunia yang semakin kompleks, hukum harus menjadi pelindung, bukan alat represi. Dan pelindung itu hanya bisa bekerja jika hakim diberi peran yang kuat dan independen. Polisi harus tetap profesional, tetapi dalam koridor hukum yang diawasi. Inilah status quo yang harus dijaga, demi tertegaknya keadilan yang beradab.

 

 

M12H

Pos terkait