Ditulis/disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
Indonesiainvestigasi
SETIAP tanggal 25 November, negeri ini kembali mengingat para guru. Ucapan selamat Hari Guru berseliweran di media sosial, bunga dan bingkisan kecil berpindah tangan dan pidato-pidato apresiatif kembali digaungkan. Namun di balik perayaan itu, ada kisah panjang yang tak selalu terdengar: kisah tentang letih yang dipendam, harapan yang dijaga dan bahagia yang tak selalu bisa diungkapkan dengan kata.
Menjadi guru di Indonesia bukan sekadar profesi. Ia adalah panggilan jiwa, sekaligus ujian ketahanan. Di banyak pelosok negeri, guru bukan hanya pengajar, tapi juga penggerak desa, fasilitator pembangunan, bahkan kadang menjadi orang tua kedua bagi anak-anak yang ditinggal merantau. Namun, di tengah peran yang begitu besar, tak jarang mereka berjalan sendiri, dengan gaji yang tak sepadan dan fasilitas yang jauh dari layak.
Keluh kesah guru bukan hanya soal materi. Ia lebih dalam dari itu. Tentang kurikulum yang terus berubah tanpa cukup pelatihan. Tentang administrasi yang menumpuk, menyita waktu mengajar. Tentang ruang kelas yang bocor, papan tulis yang retak dan murid-murid yang datang tanpa sarapan. Tentang harapan yang harus tetap menyala, meski lilin kesejahteraan nyaris padam.
Namun, di tengah segala keterbatasan itu, ada bahagia yang tak bisa dibeli. Bahagia saat melihat murid yang dulu tak bisa membaca kini lancar menulis puisi. Bahagia saat anak didik yang dulu pemalu kini berani bicara di depan umum. Bahagia saat mantan murid datang membawa kabar: “Bu, saya sudah jadi guru juga sekarang.”
Guru adalah profesi yang menanam tanpa tahu kapan panen tiba. Bahkan sering kali, panen itu tak pernah mereka nikmati. Tapi mereka tetap menanam, karena percaya bahwa setiap ilmu yang ditanam akan tumbuh menjadi pohon kebaikan, entah di mana dan kapan pun itu.
Di kota-kota besar, tantangan guru berbeda. Mereka harus bersaing dengan gawai, media sosial dan perhatian murid yang terpecah. Mereka harus menjadi lebih dari sekadar pengajar: menjadi pendengar, fasilitator, bahkan kadang terapis. Di tengah tekanan angka dan target, mereka tetap berusaha menjadikan kelas sebagai ruang aman untuk terus bertumbuh.
Sementara itu, di daerah terpencil, guru menghadapi medan yang tak kalah berat. Menyusuri sungai, menembus hutan, atau berjalan kaki berjam-jam demi sampai ke sekolah. Mereka mengajar dengan papan tulis seadanya, tanpa proyektor, tanpa internet, bahkan kadang tanpa listrik. Tapi mereka tetap datang, karena bagi mereka, pendidikan adalah cahaya yang tak boleh padam.
Ironisnya, banyak guru honorer yang telah mengabdi belasan tahun, namun belum juga diangkat menjadi ASN. Mereka hidup dalam ketidakpastian, digaji jauh di bawah UMR 9dan tetap dituntut profesional. Mereka mencintai murid-muridnya, tapi sering merasa dilupakan oleh sistem yang seharusnya melindungi.
Namun, guru bukan hanya korban. Mereka juga pejuang. Di tengah segala keterbatasan, mereka terus berinovasi. Membuat media belajar dari barang bekas, mengajar lewat radio komunitas, atau mengadakan kelas di bawah pohon saat pandemi. Mereka membuktikan bahwa semangat mendidik tak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Bahagia guru bukanlah bahagia yang riuh. Ia hadir dalam bentuk senyum murid, pelukan hangat alumni, atau sekadar ucapan “terima kasih” yang tulus. Bahagia itu sederhana, tapi bermakna. Dan justru karena kesederhanaannya, ia menjadi kekuatan yang tak tergantikan.
Hari Guru seharusnya bukan hanya seremoni. Ia harus menjadi momen refleksi: sudahkah kita benar-benar menghargai guru? Bukan hanya dengan ucapan, tapi dengan kebijakan yang berpihak, dengan sistem yang manusiawi dan dengan ruang yang memungkinkan guru untuk terus belajar dan berkembang.
Pendidikan yang baik tak lahir dari kurikulum semata, tapi dari guru yang bahagia. Guru yang dihargai, didengar dan diberi ruang untuk berkreasi. Tanpa itu, pendidikan hanya akan menjadi rutinitas tanpa jiwa dan murid-murid akan kehilangan teladan yang sesungguhnya.
Kita sering menuntut guru untuk menjadi inspiratif, sabar dan berdedikasi. Tapi jarang bertanya: sudahkah kita menjadi masyarakat yang mendukung mereka? Sudahkah kita menjadi orang tua yang bersinergi, atau pemimpin yang peduli pada nasib mereka?
Menjadi guru adalah profesi yang sunyi. Mereka bekerja dalam diam, hasilnya baru terlihat bertahun-tahun kemudian. Tapi justru karena itu, mereka layak mendapat tempat paling mulia. Karena di tangan merekalah masa depan bangsa ini dibentuk untuk masa depan bukan dengan kekerasan, tapi dengan ketelatenan dan cinta.
Maka di Hari Guru ini, mari kita berhenti sejenak. Dengarkan suara mereka. Rasakan letih mereka. Rayakan bahagia mereka. Dan lebih dari itu, mari kita perjuangkan agar profesi guru tak lagi menjadi ladang pengorbanan semata, tapi juga ruang untuk tumbuh, bermartabat dan berbahagia.
M12H







