Mengurai Stigma Bulan Safar dalam Tradisi Aceh

Tgk. Mursalin.,S.H.,M.H( Dosen UNISAI Samalanga )

 

Indonesia Investigasi

 

BIREUEN – Dalam kalender Hijriah, bulan Safar seringkali menjadi bulan yang dipandang miring oleh sebagian masyarakat. Di berbagai daerah, termasuk Aceh, bulan ini dianggap sebagai masa yang rawan bala, penuh malapetaka, dan sial. Tak heran jika muncul banyak larangan yang diwariskan turun-temurun, seperti pantangan menikah, pindah rumah, atau bepergian jauh selama bulan Safar berlangsung. Keyakinan ini seolah menjadi kebenaran yang tak perlu dibantah.

Bacaan Lainnya

 

Tradisi masyarakat Aceh tidak terlepas dari pengaruh tersebut. Bahkan, salah satu warisan budaya yang masih lestari hingga kini adalah kenduri Safar. Pada hari Rabu terakhir bulan Safar, masyarakat di beberapa gampong mengadakan doa bersama, menyembelih hewan, serta memasak dan membagikan makanan kepada tetangga. Tak jarang pula dilakukan mandi bersama di laut atau sungai, sebagai simbol membersihkan diri dari marabahaya. Di balik nuansa kekeluargaan dan religiusnya, sayangnya masih tersimpan keyakinan bahwa bulan ini mengundang kesialan.

 

Pandangan ini sesungguhnya tidak memiliki dasar yang kuat dalam Islam. Nabi Muhammad SAW secara tegas membantah anggapan adanya waktu-waktu yang membawa kesialan. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Tidak ada penularan (yang berdiri sendiri), tidak ada thiyarah (tanda sial), tidak ada burung hantu sebagai pertanda buruk, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar.” Pesan hadis ini sangat jelas: Islam tidak membenarkan keyakinan akan bulan atau hari yang membawa nasib buruk secara intrinsik.

 

Islam datang untuk membebaskan umat manusia dari kungkungan takhayul dan mitos. Menjadikan bulan tertentu sebagai sumber bala tidak hanya bertentangan dengan akidah, tetapi juga dapat menghambat perkembangan sosial masyarakat. Bayangkan jika generasi muda terus diwarisi rasa takut terhadap bulan Safar. Mereka akan enggan melangkah maju, memulai usaha, atau menikah hanya karena mitos yang tidak berdasar.

 

Namun, bukan berarti semua tradisi yang tumbuh di bulan Safar harus ditinggalkan. Kenduri Safar, misalnya, bisa tetap dipertahankan sebagai bentuk doa bersama, sedekah, dan ajang mempererat silaturahmi. Yang perlu dibenahi adalah niat dan keyakinannya. Bukan sebagai ritual tolak bala dalam arti magis, tapi sebagai ikhtiar spiritual memohon perlindungan kepada Allah, sebagaimana ajaran Islam yang murni.

 

Dalam konteks Aceh yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah”, koreksi terhadap keyakinan seperti ini sangat penting. Sebab, Aceh bukan hanya daerah berbudaya Islam, tapi juga daerah yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan kehidupan masyarakatnya. Sudah seharusnya warisan tradisi diselaraskan dengan prinsip tauhid yang benar. Di sinilah peran para ulama, pendidik, dan tokoh adat menjadi sangat strategis meluruskan pemahaman, tanpa mematikan budaya.

 

Menyambut bulan Safar tidak perlu dengan rasa takut, tapi dengan ilmu dan keimanan. Marilah kita ubah cara pandang terhadap bulan ini—dari bulan yang ditakuti menjadi bulan untuk memperkuat keyakinan. Jangan biarkan warisan budaya justru menjauhkan kita dari ajaran Islam yang lurus. Karena sejatinya, tak ada bulan yang buruk, yang ada hanyalah cara kita memaknainya.

 

 

Teuku Fadjar Al- Farisyi

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *