Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,
Pemerhati/Pengamat
Indonesiainvestigasi.com
ACEH dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan keberadaan lembaga “Baitul Mal”, seharusnya Aceh memiliki mekanisme tersendiri dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus bergantung pada skema ekonomi lain, termasuk koperasi seperti “Koperasi Merah Putih” yang merupakan inpres dalam bentuk kebijakan/instruksi secara sentralistik. Namun, mengapa masih ada dorongan untuk menggunakan pendekatan koperasi sebagai solusi utama? Bukankah Baitul Mal di setiap gampong/des/kekurahan di Aceh dapat menjadi fondasi ekonomi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam?, sehingga menunjukkan Aceh memiliki kelebihan secara desentralisasi sebagaimana telah disepakati dalam MoU Helsinki 2005 hingga lahirnya UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,
Sejarah telah menunjukkan bahwa sistem melalui pembayaran kewajiban Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) memiliki dampak besar dalam menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat Muslim. Di berbagai negara dengan mayoritas Muslim, pengelolaan zakat yang optimal mampu mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat tanpa bergantung pada sistem ekonomi kapitalis. Aceh, yang memiliki keistimewaan dalam menjalankan syariat Islam, seharusnya lebih mengoptimalkan peran Baitul Mal di tingkat gampong/desa/kelurahan, bukan justru mengarahkan masyarakat untuk mengandalkan koperasi umum.
Salah satu kekuatan utama Baitul Mal adalah kemampuannya dalam mengelola dana sosial berdasarkan prinsip “keadilan dan keberlanjutan”. Model ini memungkinkan distribusi kekayaan yang lebih merata tanpa perlu terjebak dalam sistem bunga dan kredit seperti yang sering terjadi dalam skema koperasi konvensional. Jika setiap gampong memiliki Baitul Mal yang kuat, masyarakat tidak perlu meminjam dana dengan sistem cicilan atau bergantung pada koperasi, melainkan dapat memperoleh bantuan dari dana yang telah dikumpulkan berdasarkan prinsip Islam tersebut.
Pemerintah Aceh memiliki peran penting dalam memperkuat institusi Baitul Mal, terutama dalam memastikan transparansi pengelolaan dana serta pemanfaatannya untuk kepentingan masyarakat luas. Namun, yang terjadi saat ini adalah minimnya perhatian dan keberpihakan politik terhadap penguatan Baitul Mal di tingkat gampong/desa/kelurahan. Sebaliknya, skema koperasi yang berorientasi pada mekanisme pinjaman dan investasi terus didorong tanpa kajian mendalam apakah metode tersebut benar-benar relevan dalam konteks ekonomi syariah.
Tidak dapat disangkal bahwa koperasi memiliki kelebihan, terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Namun, pendekatan ini bukan tanpa kelemahan. Banyak koperasi yang pada akhirnya terjebak dalam sistem yang kurang menguntungkan bagi anggota, terutama dalam hal pengelolaan aset dan pembagian keuntungan. Di sisi lain, jika Baitul Mal dikelola dengan baik, dana yang diberikan kepada masyarakat tidak perlu dikembalikan dalam bentuk cicilan, melainkan sebagai bagian dari sistem distribusi kesejahteraan Islam yang lebih holistik.
Maka dari itu, dorongan untuk lebih memperkuat Baitul Mal bukanlah sekadar idealisme, tetapi sebuah urgensi dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam secara utuh (kaffah). Jika pemerintah Aceh benar-benar ingin mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat gampong/desa/kelurahan, maka solusi terbaik bukanlah koperasi, tetapi memastikan setiap gampong memiliki Baitul Mal yang kuat, transparan, dan berdaya guna bagi rakyat.
Akhirnya, segala bentuk keputusan ada di tangan pemangku kebijakan dan masyarakat itu sendiri. Apakah Aceh akan terus mengikuti model ekonomi konvensional yang belum tentu sejalan dengan nilai-nilai Islam? Atau justru memperkuat sistem ekonomi berbasis syariah yang telah terbukti mampu menyejahterakan umat sejak berabad-abad lalu?, bahkan pernah jaya pada masa Kesultanan Aceh yang di pimpin oleh Sultan Iskandar Muda.
(Redaksi)