Marwah yang Tercoreng: Ketika Pesantren Dihina, Aceh Menjawab dengan Martabat

 

Ditulis/disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,

(Alumni Dayah Butanul Ulum Langsa – Alumni Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum FSH UIN Ar-Raniry Banda Aceh – Juga Pengajar/guru di Dayah Lampoh Beut Aceh Besar)

 

Bacaan Lainnya

Indonesiainvestigasi.com

DALAM lanskap pendidikan Indonesia, pondok pesantren bukan sekadar sebuah lembaga atau institusi pendidikan. Ia adalah jiwa yang hidup dalam sunyi, membentuk generasi dengan akhlak, ilmu dan kesadaran spiritual. Namun baru-baru ini, sebuah tayangan televisi nasional menyulut luka kolektif. Bukan karena kritik yang membangun, melainkan karena narasi yang merendahkan, menyudutkan, bahkan menghina pesantren sebagai lembaga yang dianggap tertinggal dan tidak relevan.

 

Tayangan tersebut menyuguhkan gambaran yang jauh dari kenyataan. Santri digambarkan sebagai sosok yang tidak berdaya, lingkungan pesantren sebagai tempat yang kumuh dan tidak layak, serta pendidikan agama sebagai beban sosial. Framing semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Ia menyebarkan stigma, membentuk persepsi publik yang menyesatkan, dan merusak martabat lembaga yang telah berkontribusi besar dalam membangun karakter bangsa.

 

Di Aceh, pesantren dikenal dengan sebutan dayah. Ia bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang pengabdian. Di dalamnya, santri tidak hanya membaca kitab, tetapi juga belajar hidup dalam kesederhanaan, disiplin dan bertanggung jawab. Dayah-dayah di Aceh telah menjadi benteng moral masyarakat, menjaga nilai-nilai Islam dan adat dalam satu tarikan napas.

 

Aceh memiliki khazanah pesantren yang kaya. Dari Dayah Tanoh Abe hingga Dayah MUDI Mesra, dari lembaga tradisional hingga pesantren modern yang mengintegrasikan kurikulum nasional dan teknologi digital seperti: Dayah Bustanul Ulum Langs, Dayah Lampoh Beut Aceh Besar dan Dayah-dayah modern lainnya di Aceh. Di sana, ilmu agama diajarkan berdampingan dengan ilmu pengetahuan umum, bahkan ekonomi syariah dan kewirausahaan. Banyak pesantren di Aceh yang telah menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, membangun koperasi santri, mengelola pertanian, dan menjadi ruang rehabilitasi sosial.

 

Namun semua itu luput dari sorotan media. Yang ditampilkan justru sisi yang dangkal, penuh stereotip, dan jauh dari realitas. Media yang seharusnya menjadi jembatan pemahaman, justru menjadi alat pembelokan persepsi. Mereka lebih memilih sensasi daripada substansi, rating video daripada kebenaran. Tayangan tersebut tidak hanya menyakiti hati para santri, tetapi juga melukai masyarakat yang menjadikan pesantren sebagai kebanggaan.

 

Ketika pesantren dihina, yang terluka bukan hanya institusinya, tetapi juga nilai-nilai yang diperjuangkannya. Nilai keikhlasan, pengabdian, dan perjuangan yang tak pernah ditayangkan di layar kaca, namun nyata dalam kehidupan sehari-hari para santri. Mereka bangun sebelum fajar, belajar dengan tekun, beribadah dengan khusyuk dan hidup dalam semangat kebersamaan.

 

Media yang menyebarkan stigma tersebut sering kali mengklaim diri sebagai pembela keberagaman dan keadilan. Namun dalam praktiknya, mereka justru memperkuat diskriminasi dan memperlemah solidaritas sosial. Mereka gagal memahami bahwa pesantren adalah ruang spiritual yang membentuk hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama. Bahwa di balik dinding sederhana pesantren, ada ribuan kisah perjuangan yang tak pernah ditayangkan.

 

Masyarakat Aceh, yang selama ini menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama, merasa terhina oleh tayangan tersebut. Mereka tidak hanya marah, tetapi juga kecewa. Sebab pesantren di Aceh bukanlah simbol keterbelakangan, melainkan simbol peradaban. Ia telah melahirkan ulama, pemimpin dan tokoh masyarakat yang berpengaruh. Ia telah menjadi ruang dialog, tempat bertemunya tradisi dan modernitas.

 

Tayangan tersebut seharusnya menjadi titik balik bagi kita semua untuk mengevaluasi peran media dalam membentuk opini publik. Apakah media masih menjadi cermin kebenaran, atau telah berubah menjadi cermin distorsi? Apakah media masih memiliki nurani, atau telah kehilangan arah dalam mengejar popularitas?

 

Masyarakat perlu lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media. Jangan biarkan persepsi dibentuk oleh tayangan yang tidak berdasar. Kenali pesantren dari dekat, dengarkan kisah para santri, dan rasakan semangat perjuangan yang mereka emban. Jangan biarkan stigma merusak warisan yang telah dibangun dengan darah dan air mata.

 

Di sisi lain, pesantren juga perlu memperkuat komunikasi publiknya. Mereka harus mampu menyampaikan nilai-nilai dan kontribusinya secara terbuka, agar tidak mudah disalahpahami oleh pihak luar. Pendidikan media literasi menjadi kunci agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh tayangan yang menyesatkan. Kita perlu membekali generasi muda dengan kemampuan untuk memilah informasi, memahami konteks, dan menilai secara kritis.

 

Tayangan yang menghina pesantren bukan hanya menyakiti hati, tetapi juga mengancam integrasi sosial. Ia menciptakan jurang antara komunitas pesantren dan masyarakat umum, padahal keduanya harus saling menguatkan. Di Aceh, pesantren bukan hanya milik santri, tetapi milik seluruh masyarakat yang menjunjung marwah Islam dan adat.

 

Pesantren tidak akan runtuh oleh hinaan, karena ia berdiri di atas fondasi nilai yang kokoh. Yang perlu runtuh adalah kesombongan media yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai penjaga nurani bangsa. Aceh telah membuktikan bahwa pesantren bukan penghalang kemajuan, tetapi justru fondasi peradaban. Maka marwahnya harus dijaga, bukan dicederai.

 

Ketika media kehilangan empati, masyarakat harus menjadi penyeimbang. Ketika pesantren dihina, kita harus menjawab dengan martabat. Dan ketika nilai-nilai luhur direndahkan, kita harus berdiri tegak, menjaga warisan, dan membela yang tersuci. Sebab pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi tempat membangun jiwa bangsa.

 

Nurhalim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *