Manajemen Risiko Lingkungan DAS Krueng Peusangan

Oleh : Fachrian, ST, Pemerhati lingkungan, mahasiswa pasca sarjana prodi S2 Pengelolaan SDA & Lingkungan, Universitas AlMuslim – Bireuen.

 

Indonesia InvestigasiΒ 

 

Bacaan Lainnya

Krueng Peusangan bukan sekadar aliran air. Ia adalah urat nadi Aceh Tengah hingga Bireuen, ia mengairi sawah, menghidupkan pembangkit listrik, menyuplai air bersih, dan lain-lain. Namun, seperti banyak sungai strategis di Indonesia, ia kini terancam: hulu yang terdegradasi, sedimentasi tinggi, pencemaran domestik, dan alih fungsi lahan yang tak terkendali.

 

Untuk menghindari nasib seperti DAS-DAS kritis lain di nusantara, pengelolaan Krueng Peusangan harus bergeser dari pola reaktif menjadi preventif. Di sinilah manajemen risiko lingkungan menjadi kunci.

 

1. Identifikasi Risiko Sejak Hulu

Langkah pertama adalah pemetaan risiko secara menyeluruh, mulai dari tingkat kerusakan hutan lindung di sekitar Danau Lut Tawar, potensi longsor dan erosi di perbukitan kopi, hingga risiko pencemaran limbah domestik dan pertanian. Penggunaan citra satelit dan pemodelan hidrologi bisa membantu prediksi titik rawan bencana dan degradasi lebih awal.

 

2. Analisis Risiko Berbasis Data dan Partisipasi

Data saja tidak cukup. Masyarakat lokal tahu perubahan sungai dari waktu ke waktu. Maka, manajemen risiko harus menggabungkan pendekatan saintifik dengan partisipasi warga. Misalnya, masyarakat bisa dilibatkan dalam pemetaan daerah rawan banjir, penyusunan kalender musim hujan/kering, atau mengidentifikasi titik pembuangan sampah ilegal.

 

3. Mitigasi Terukur dan Berkelanjutan

Strategi mitigasi harus fokus pada konservasi hulu, seperti rehabilitasi hutan, terasering lahan miring, dan penanaman tanaman penutup tanah. Untuk wilayah tengah dan hilir, pembangunan instalasi pengolahan air limbah skala kecil, pemulihan bantaran sungai, serta pengawasan aktivitas industri menjadi penting.

 

4. Kesiapsiagaan dan Respons Dini

Sistem peringatan dini banjir dan kekeringan di sepanjang DAS harus dibangun dan diintegrasikan ke dalam sistem tanggap darurat daerah. Sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa bisa menjadi pusat edukasi kesiapsiagaan lingkungan.

 

5. Monitoring dan Evaluasi Partisipatif

Manajemen risiko tidak berakhir pada dokumen rencana. Diperlukan evaluasi berkala, dengan indikator lingkungan yang jelas dan dapat diakses publik. Keterlibatan pemuda, mahasiswa, dan LSM lokal sebagai pemantau independen bisa memperkuat akuntabilitas dan transparansi.

 

Dengan pendekatan ini, Krueng Peusangan tidak hanya dilindungi dari bencana ekologis, tetapi juga menjadi model pengelolaan sungai yang adil, adaptif, dan berkelanjutan.

 

Sungai ini sudah memberi kita kehidupan. Sudah waktunya kita membalasnya dengan perlindungan berbasis ilmu dan nilai-nilai kearifan lokal.(Redaksi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *