Indonesia InvestigasiĀ
Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,
Dalam dunia hukum, istilah seperti “pro bono”, “pro deo”, “legal aid” dan “public defender” sering dianggap sebagai simbol keadilan bagi mereka yang kurang mampu. Namun, di balik konsep idealnya, muncul berbagai kontroversi yang mempertanyakan efektivitas dan keadilan dari sistem bantuan hukum ini. Apakah benar layanan hukum gratis ini murni demi kepentingan masyarakat, ataukah ada kepentingan tersembunyi yang mengiringinya?
Pertama, konsep “pro bono” sering dipuji sebagai bentuk tanggung jawab sosial para advokat. Namun, dalam praktiknya, banyak pengacara yang hanya menjalankan kewajiban ini secara formalitas. Beberapa firma hukum besar menggunakan pro bono sebagai strategi pemasaran untuk meningkatkan citra mereka, bukan karena kepedulian terhadap akses keadilan. Akibatnya, banyak kasus yang ditangani secara setengah hati, tanpa komitmen penuh untuk membela klien yang benar-benar membutuhkan.
Di sisi lain, “pro deo”, yang merupakan bantuan hukum yang dibiayai negara, juga tidak lepas dari kritik. Banyak kasus di mana individu yang seharusnya mendapatkan bantuan hukum gratis justru menghadapi birokrasi yang berbelit-belit. Tidak jarang, pengacara yang ditunjuk oleh negara memiliki beban kerja yang terlalu tinggi, sehingga tidak dapat memberikan pembelaan yang optimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sistem pro deo benar-benar memberikan keadilan, atau hanya sekadar formalitas hukum?
Sementara itu, konsep “legal aid” atau bantuan hukum yang diberikan oleh organisasi non-profit juga menghadapi tantangan besar. Banyak lembaga bantuan hukum yang bergantung pada pendanaan dari pihak tertentu, yang bisa saja memiliki agenda politik atau ekonomi tersendiri. Ketergantungan ini berpotensi mempengaruhi independensi lembaga dalam menangani kasus-kasus tertentu, sehingga keadilan yang seharusnya diperjuangkan menjadi terdistorsi oleh kepentingan sponsor.
Selain itu, sistem “public defender”, yang bertugas membela terdakwa yang tidak mampu, sering kali menghadapi masalah serius dalam hal kualitas pembelaan. Di banyak negara, pengacara publik memiliki beban kasus yang sangat tinggi, dengan sumber daya yang terbatas. Akibatnya, banyak terdakwa yang mendapatkan pembelaan yang kurang maksimal, bahkan dalam kasus-kasus yang berpotensi mengubah hidup mereka secara drastis.
Tidak hanya itu, prinsip “res judicata”, yang menyatakan bahwa suatu perkara yang telah diputuskan tidak dapat diperkarakan kembali, juga menuai kritik. Meskipun bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, prinsip ini sering kali menjadi penghalang bagi korban yang ingin mencari keadilan lebih lanjut. Dalam beberapa kasus, bukti baru yang muncul setelah putusan pengadilan tidak dapat digunakan untuk mengajukan kembali perkara, sehingga keadilan menjadi terkunci dalam keputusan yang mungkin tidak sepenuhnya benar.
Pada akhirnya, meskipun berbagai sistem bantuan hukum ini bertujuan untuk memberikan akses keadilan bagi semua orang, kenyataannya masih jauh dari kata “ideal”. Banyak faktor, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, hingga keterbatasan sumber daya, yang membuat sistem ini tidak selalu bekerja sebagaimana mestinya. Pertanyaannya sekarang: apakah kita hanya akan menerima sistem yang ada, ataukah perlu ada reformasi besar-besaran untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar dapat diakses oleh semua orang?
Nurhalim