Khanduri Ie Bu, Warisan Syukur di Tengah Hamparan Padi

Dani Pratama Putra S.Pi, M.Ling, Dosen Fakultas Pertanian UMuslim Bireuen.

Indonesia Investigasi

 

Bireuen – Di sebuah pagi yang cerah, ketika embun masih menetes di ujung daun padi yang mulai menguning, masyarakat Gampông Nicah, kecamatan Peusangan mulai berkumpul di jalan persawahan gampong. Laki-laki, perempuan, tua dan muda berjalan perlahan dari arah rumah masing-masing membawa dulang berisi makanan, air bersih, serta beras yang nanti akan dimasak menjadi ie bu. Di bawah langit yang bersahabat dan semilir angin sawah, sebuah kearifan lokal kembali dihidupkan, ”Khanduri Ie Bu”, kenduri syukuran yang dulu begitu akrab dalam kehidupan masyarakat tani Aceh.

 

Bacaan Lainnya

Kami duduk bersila di bawah naungan tenda sederhana yang didirikan di tepi sawah. Di hadapan kami, beberapa orang tua yang rambutnya sudah penuh uban mulai bercerita dengan nada pelan namun penuh wibawa. “Dulu, saat padi sudah mulai rôh (berbunga) kami langsung bersiap. Tak boleh lupa, do’a tulak bala, supaya padi tidak kena hama dan tidak diserang penyakit. Khanduri ini bukan cuma tradisi, tapi juga ibadah, bentuk syukur kita kepada Allah,” ujar Bustami Hasan, salah satu tokoh adat setempat.

Kejrôen blang, pemuka yang dituakan dalam urusan persawahan, menjadi pemimpin dalam rangkaian ritual ini. Tgk Muhammad Rizal selaku Tgk Imum Gampong memimpin pembacaan doa-doa, dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan shalawat bersama. Setelah itu, masyarakat menyantap ie bu, sejenis bubur khas Aceh dari beras yang dimasak bersama rempah dan kelapa dengan duduk bersama tanpa sekat, tanpa kasta, Geuchik Dedi Novizar selaku pimpinan gampong juga terlihat sangat antusias dalam kegiatan ini. Di sinilah terasa benar rasa persaudaraan. Semua menyatu, dari petani tua yang kulitnya terbakar matahari, hingga anak-anak muda yang baru saja pulang dari kota membawa gelar sarjana.

 

Khanduri Ie Bu bukan hanya tentang makanan, tapi tentang makna. Ini tentang gotong royong, tentang cinta tanah, tentang merawat tradisi, dan tentang menyatukan hati.

Dani Pratama Putra S.Pi, M.Ling, seorang petani muda sekaligus dosen di Universitas Almuslim, turut hadir hari itu. Dengan penuh semangat ia berkata, “Banyak sarjana lahir dari petani, tapi tak banyak sarjana yang pulang untuk menjadi petani. Lewat khanduri seperti ini, semoga kita bisa kembali menanam nilai, bahwa bertani bukan pekerjaan rendahan, tapi warisan dan kehormatan.” ungkapnya.

 

Namun, tradisi ini kini mulai memudar. Digerus zaman, digantikan oleh kesibukan modern dan individualisme. Tapi pagi itu, di tengah hamparan padi yang bergoyang ditiup angin, Khanduri Ie Bu hidup kembali, menghadirkan kembali kenangan dan semangat masa lalu. Duduk bersama orang-orang tua gampong, mendengar petuah mereka sambil menyeruput kopi hangat dan menyantap ie bu, seolah membawa kami kembali ke masa ketika segala sesuatu dimulai dari rasa syukur.

 

Semoga kearifan lokal ini tetap hidup. Sebab di balik semangkuk ie bu, tersimpan doa, harapan, dan cinta yang tak terputus dari generasi ke generasi.

 

Penulis : Dani Pratama Putra S.Pi, M.Ling

Dosen Fakultas Pertanian UMuslim Bireuen.

Teuku Fadjar Al-Farisyi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *