Ketika Sungai Meluap, Nurani Kita Diuji Seruan Kemanusiaan dari Aceh, Sumut dan Sumbar

Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.

 

Air yang Tak Lagi Menenangkan

HUJAN turun tanpa jeda, seolah langit menumpahkan seluruh kesedihannya ke bumi. Dalam hitungan jam, sungai-sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan berubah menjadi ancaman yang menakutkan. Di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, air meluap tanpa ampun, menelan rumah-rumah, sawah yang siap panen, dan jalanan yang menghubungkan kehidupan. Banjir datang bukan hanya sebagai bencana alam, tetapi sebagai pemutus harapan dan rutinitas ribuan keluarga.

Bacaan Lainnya

Di tengah kepanikan, ribuan warga terpaksa mengungsi. Mereka meninggalkan rumah yang dibangun dengan susah payah, ladang yang menjadi tumpuan hidup dan sekolah tempat anak-anak menanam cita-cita. Mereka membawa serta trauma, ketidakpastian dan secuil harapan bahwa, “akan ada tangan-tangan yang menyambut mereka di tempat yang lebih aman.”

Di balik derasnya arus, tersimpan kisah-kisah yang tak sempat ditulis. Seorang ibu muda menggendong bayinya, berjalan perlahan melintasi genangan setinggi dada, matanya tak lepas dari langkah demi langkah yang ia pijak. Anak-anak kehilangan buku, seragam dan ruang belajar yang selama ini menjadi tempat mereka bermimpi. Sementara itu, para lansia duduk diam di sudut-sudut tenda pengungsian, menatap kosong ke arah yang tak pasti, seolah bertanya dalam hati: “Kapan semua ini akan berakhir?”

Namun bencana ini bukan hanya tentang air yang meluap. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kemanusiaan kita. Ia menguji sejauh mana kita mampu merasakan derita orang lain. Apakah kita masih memiliki ruang di hati untuk peduli? Ataukah kita telah terlalu sibuk dengan urusan sendiri hingga tak lagi mendengar jeritan dari tenda-tenda darurat?

Pertanyaan itu menggema di antara kabar duka dan laporan kerusakan. Ia mengetuk pintu nurani kita, memanggil kita untuk tidak hanya bersimpati, tetapi juga bergerak. Karena simpati tanpa aksi hanyalah gema kosong. Karena air yang meluap tak bisa ditahan dengan doa semata, melainkan dengan solidaritas dan aksi yang nyata.

Kini, saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apa yang bisa kita lakukan? Mungkin kita tak bisa hadir langsung di lokasi bencana. Tapi kita bisa mengulurkan tangan dari jauh. Kita bisa menjadi jembatan antara penderitaan dan harapan. Kita bisa menjadi bagian dari pemulihan, dari kebangkitan, dari kehidupan yang ingin kembali tumbuh.

Karena bencana ini bukan hanya tentang mereka yang terdampak. Ini tentang kita semua: tentang siapa kita sebagai bangsa, tentang bagaimana kita memilih untuk merespons penderitaan sesama. Ketika sungai meluap dan menggulung segalanya, hanya satu yang bisa menyelamatkan: kemanusiaan yang tak ikut tenggelam.

Kebutuhan yang Tak Bisa Ditunda

Di balik tenda-tenda darurat yang berdiri seadanya, kebutuhan hidup terus mendesak. Setiap hari di pengungsian adalah perjuangan untuk bertahan, bukan hanya dari dingin dan lapar seta dahaga, tapi juga dari rasa kehilangan dan ketidakpastian. Uang memang penting, tetapi ada kebutuhan yang lebih mendesak—yang menyentuh langsung pada martabat dan kelangsungan hidup manusia.

Air bersih menjadi kemewahan yang tak lagi mudah dijangkau. Di banyak titik, warga harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan seember air yang layak diminum. Anak-anak meminum air yang keruh, dan ibu-ibu mencuci pakaian dengan air yang sama. Padahal, air bukan hanya untuk bertahan hidup: ia adalah syarat dasar untuk dapat hidup menjadi lebih sehat.

Makanan siap saji menjadi penyambung nyawa. Namun, stoknya cepat menipis. Dapur umum bekerja tanpa henti, tetapi tanpa pasokan bahan bakar, beras dan lauk pauk, mereka tak bisa berbuat banyak. Di beberapa lokasi, warga hanya makan sekali sehari, dengan menu seadanya yang tak cukup untuk anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang.

Obat-obatan dasar seperti paracetamol, antiseptik dan oralit menjadi kebutuhan harian yang tak bisa ditunda. Di tengah kondisi lembab dan sanitasi yang buruk, penyakit kulit, diare dan infeksi saluran pernapasan mulai menyebar. Tanpa penanganan cepat, penyakit-penyakit ringan bisa berubah menjadi ancaman serius.

Popok bayi dan pembalut wanita sering kali luput dari perhatian. Padahal, ini adalah kebutuhan yang tak bisa ditawar. Ibu-ibu muda terpaksa menggunakan kain bekas, sementara bayi menangis karena iritasi. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi soal kesehatan dan harga diri.

Selimut, matras dan alas tidur menjadi pelindung dari dinginnya malam. Banyak pengungsi tidur di lantai tenda yang lembab, beralaskan kardus, berselimutkan udara. Anak-anak menggigil, lansia batuk sepanjang malam. Tidur yang layak menjadi kemewahan yang langka.

Masker dan hand sanitizer tetap menjadi kebutuhan penting. Meski bencana alam tengah berlangsung, ancaman penyakit menular belum usai. Di tengah kerumunan pengungsi, satu batuk bisa menjadi awal dari wabah. Kewaspadaan harus tetap dijaga, meski dalam kondisi serba terbatas.

Berteduh di Tengah Ketidakpastian

Di tengah derasnya hujan dan ancaman banjir susulan, tenda-tenda darurat dan lembaran terpal menjadi satu-satunya atap yang melindungi para pengungsi dari dingin dan angin malam. Namun, jumlahnya jauh dari cukup. Banyak keluarga harus berbagi ruang sempit, berdesakan dalam kondisi lembab dan pengap, tanpa jaminan kapan mereka bisa kembali ke rumah yang berlumpur atau telah hancur terbawa oleh derasnya air

Ketika malam tiba, kegelapan menyelimuti pengungsian. Tanpa listrik, tanpa lampu jalan, hanya cahaya redup dari senter atau lampu tenaga surya yang menjadi penuntun. Di balik cahaya itu, ada wajah-wajah lelah yang tetap berusaha tersenyum, meski tubuh mereka menggigil dan hati mereka penuh tanya.

Di daerah-daerah yang masih tergenang, pelampung, tali pengaman dan peluit menjadi alat penyelamat jiwa. Anak-anak yang belum bisa berenang, lansia yang tak mampu bergerak cepat, mereka semua bergantung pada alat-alat sederhana ini untuk bertahan. Sayangnya, jumlahnya terbatas. Banyak yang harus menunggu giliran, berharap air tak datang lebih cepat dari bantuan.

Kebutuhan akan kebersihan pribadi tak kalah penting. Sabun, pasta gigi, handuk kecil dan peralatan mandi lainnya menjadi simbol martabat yang ingin dipertahankan. Karena bahkan dalam keterbatasan, manusia tetap ingin merasa bersih, segar dan dihargai. Di pengungsian, mandi bukan hanya soal kebersihan, tapi juga soal menjaga kewarasan dan harga diri.

Namun, akses ke fasilitas mandi sering kali terbatas. Air yang tersedia lebih diprioritaskan untuk minum dan memasak. Banyak yang harus menahan diri berhari-hari tanpa mandi, tanpa pakaian bersih, tanpa ruang pribadi. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi soal kesehatan dan kemanusiaan.

Dalam kondisi seperti ini, setiap bantuan kecil menjadi sangat berarti. Satu terpal tambahan bisa menjadi perbedaan antara tidur kering atau basah kuyup. Satu lampu senter bisa menjadi pelindung dari rasa takut. Satu sabun bisa menjadi pengingat bahwa mereka masih manusia, masih layak dihormati.

Di tengah ketidakpastian ini yang mereka butuhkan bukan hanya tempat berteduh, tapi juga rasa aman, rasa dihargai dan rasa bahwa mereka tidak sendiri. Dan itulah yang bisa kita hadirkan bukan hanya dalam bentuk barang, tapi juga kepedulian yang nyata.

Suara Anak-anak di Tengah Derasnya Air

Di tengah gemuruh air yang meluap dan suara sirene yang meraung, suara anak-anak sering kali tenggelam. Padahal, merekalah yang paling rentan, paling mudah terluka dan paling lama menyimpan trauma. Bagi mereka, bencana bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga kehilangan rasa aman, rutinitas dan dunia kecil yang mereka kenal.

Susu formula dan makanan bayi menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda. Seorang ibu muda di pengungsian bercerita, ia hanya bisa menenangkan bayinya dengan air gula karena stok susu telah habis. Di sisi lain, para lansia dan penyandang penyakit kronis membutuhkan makanan tambahan yang sesuai dengan kondisi kesehatan mereka. Tanpa itu, daya tahan tubuh mereka kian melemah di tengah cuaca yang tak bersahabat.

Di antara kerumunan pengungsi, ada yang duduk di kursi roda, ada yang berjalan dengan tongkat, ada pula yang hanya bisa berbaring karena tak mampu berdiri. Mereka sering terpinggirkan dalam distribusi bantuan. Padahal, kebutuhan mereka lebih kompleks dan mendesak. Mereka tak boleh dilupakan, apalagi diabaikan.

Anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar makanan. Mereka butuh ruang untuk bermain, untuk tertawa, untuk melupakan sejenak apa yang telah mereka lihat dan alami. Buku bacaan, alat tulis dan permainan sederhana bisa menjadi jembatan untuk menyembuhkan luka batin mereka. Karena trauma masa kecil tak bisa disembuhkan hanya dengan sebungkus nasi.

Ruang ramah anak dan ibu menyusui harus menjadi prioritas. Di tengah tenda yang sesak, ibu-ibu menyusui mencari sudut-sudut gelap untuk memberi ASI. Anak-anak kecil menangis karena kelelahan dan ketakutan. Pengungsian bukan hanya tempat bertahan hidup, tapi juga tempat menjaga kehidupan yang paling rapuh.

Pendampingan psikososial sering kali menjadi kebutuhan yang terabaikan. Padahal, luka batin tak kalah perih dari luka fisik. Anak-anak yang kehilangan orang tua, yang menyaksikan rumah mereka hanyut, yang terpisah dari teman-teman sekolah: mereka membutuhkan pelukan, cerita dan telinga yang mau mendengar.

Di tengah derasnya air, suara anak-anak mungkin terdengar lirih. Tapi justru karena lirih itulah, kita harus lebih peka. Karena masa depan mereka tak boleh tenggelam bersama arus. Karena dari tawa mereka, kita belajar tentang harapan. Dan dari tangis mereka, kita diingatkan bahwa kemanusiaan dimulai dari mendengar yang paling lemah.

Menata Ulang Kehidupan dari Nol

Ketika air surut dan lumpur mulai mengering, yang tersisa bukan hanya puing-puing bangunan, tetapi juga kehidupan yang tercerai-berai. Bagi para penyintas di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, bencana bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari perjuangan panjang untuk menata ulang kehidupan dari nol.

Banyak dari mereka kembali ke rumah yang hanya tinggal rangka, atau bahkan tak bersisa. Tak ada dapur untuk memasak, tak ada kasur untuk tidur, tak ada pakaian bersih untuk dikenakan. Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan jangka menengah menjadi sangat penting. Pakaian layak pakai bukan sekadar pelindung tubuh, tapi juga simbol pemulihan martabat.

Peralatan dapur seperti kompor portabel, panci dan wajan menjadi alat untuk membangun kembali kemandirian. Di pengungsian, dapur umum memang sangatlah membantu, tetapi dalam jangka panjang, keluarga ingin kembali memasak sendiri, menyajikan makanan hangat untuk anak-anak mereka dan merasakan kembali rasa nyamannya dan kehangatan sebuah rumah.

Kebersihan lingkungan menjadi tantangan tersendiri. Tanpa sapu, pel dan tempat/kantong sampah, pengungsian bisa berubah menjadi tempat yang rawan penyakit. Air yang tergenang, sampah yang menumpuk dan sanitasi yang buruk adalah kombinasi berbahaya yang bisa memicu munculnya wabah.

Tidur yang layak adalah kebutuhan dasar yang sering terabaikan. Kasur lipat, bantal dan selimut bukan barang mewah lagi bagi mereka, namun kebutuhan agar tubuh bisa beristirahat, agar esok hari bisa kembali bangkit dan melanjutkan hidup.

Di tengah keterpurukan ini, spiritualitas menjadi penopang yang tak tergantikan. Peralatan ibadah seperti mukena, sarung, sajadah dan Al-Qur’an menjadi sumber kekuatan batin. Di sela-sela duka, mereka tetap bersujud, memohon kekuatan dan memeluk harapan.

Anak-anak, yang menjadi korban paling sunyi dari bencana, membutuhkan dukungan untuk kembali ke sekolah. Seragam, tas, buku tulis dan sepatu bukan hanya perlengkapan belajar, tapi juga tiket untuk kembali ke dunia yang mereka kenal, yaitu dunia yang penuh tawa, pelajaran dan cita-cita.

Menata ulang kehidupan bukan perkara mudah. Tapi dengan dukungan yang tepat, dengan solidaritas yang tulus, para penyintas bisa bangkit. Mereka tak butuh belas kasihan. Mereka butuh kesempatan. Kesempatan untuk kembali berdiri, membangun dan bermimpi kembali.

Solidaritas yang Menjadi Tulang Punggung

Di tengah reruntuhan dan lumpur yang belum mengering, satu hal yang tetap berdiri tegak adalah semangat gotong royong. Solidaritas menjadi tulang punggung yang menopang para penyintas untuk tetap bertahan. Tanpa itu, pengungsian hanya akan menjadi tempat menunggu dalam keputusasaan.

Dukungan logistik menjadi urat nadi dari seluruh upaya kemanusiaan. Bahan bakar untuk dapur umum, kendaraan untuk distribusi bantuan dan relawan yang bergerak dari satu titik ke titik lain adalah bagian dari sistem yang menjaga kehidupan agar tetap berjalan. Tanpa koordinasi yang baik, bantuan bisa menumpuk di satu tempat dan tak pernah sampai ke tangan yang benar-benar membutuhkan.

Relawan lokal memainkan peran yang tak ternilai. Mereka bukan hanya tangan yang membagikan bantuan, tetapi juga telinga yang mendengar keluh kesah dan sebagai bahu tempat bersandar. Mereka bekerja tanpa pamrih, sering kali tanpa cukup perlindungan maupun dukungan. Mereka adalah wajah kemanusiaan yang paling nyata.

Namun, relawan juga manusia. Mereka butuh logistik, pelatihan dan perlindungan. Mereka butuh sistem yang mendukung kerja mereka agar tetap efektif dan berkelanjutan. Tanpa itu, semangat mereka bisa padam dan pengungsi akan kehilangan garda terdepan yang paling dekat dengan mereka.

Sistem informasi pengungsi menjadi kunci untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Tanpa data yang akurat, bantuan bisa salah arah dan kebutuhan mendesak bisa terabaikan. Transparansi dan koordinasi antar lembaga, pemerintah dan masyarakat sipil harus menjadi skala prioritas. Karena “dalam bencana, waktu adalah nyawa.”

Solidaritas bukan hanya tentang memberi. Ia adalah tentang kehadiran. Tentang menyapa, mendengar dan berjalan bersama. Tentang menghapus batas antara “kami” dan “mereka.” Karena “dalam derita, kita semua sama: manusia yang saling membutuhkan.”

Dan di sinilah kita diuji. Apakah kita hanya akan menjadi penonton dari layar ponsel, ataukah kita akan menjadi bagian dari gerakan yang menyelamatkan? Apakah kita akan membiarkan mereka bertahan sendiri, ataukah kita akan hadir, meski hanya dengan doa, dukungan atau memberikan selembar selimut?

Seruan untuk Kita Semua

Bencana selalu datang tiba-tiba, tapi respons kita tak boleh lambat. Ketika sungai meluap dan menggulung segalanya, yang tersisa bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga luka batin, kehilangan arah dan rasa hampa yang sulit diungkapkan. Di titik inilah, kemanusiaan diuji. Bukan hanya oleh mereka yang terdampak, tapi oleh kita semua: yang masih punya atap, makanan hangat dan koneksi internet untuk membaca kisah ini.

Kita tak harus menjadi relawan di lapangan untuk membantu. Kita bisa menjadi jembatan antara penderitaan dan harapan. Kita bisa menyumbang, menyebarkan informasi, menggalang dukungan atau sekadar mengingatkan orang lain bahwa di sudut negeri ini, ada saudara-saudara kita yang sedang berjuang untuk bertahan.

“Kita hidup di zaman yang saling terhubung.” Satu pesan bisa menjangkau ribuan hati. Satu aksi bisa memicu gelombang kebaikan. Jangan remehkan kekuatan empati yang diwujudkan dalam tindakan. Karena dalam setiap bantuan, sekecil apa pun, ada harapan yang tumbuh. Ada senyum yang kembali. Ada hidup yang diselamatkan.

Mari kita buktikan bahwa Indonesia bukan hanya negara kepulauan, tapi bangsa yang saling menopang. Dari Aceh yang basah oleh air mata, dari Sumut yang menggigil dalam lumpur, dari Sumbar yang merintih dalam kesunyian, mereka menunggu kita. Bukan untuk dikasihani, tapi untuk ditemani.

Karena kemanusiaan tak mengenal batas wilayah. Tak mengenal agama, suku atau bahasa. Ia hanya mengenal satu hal: yaitu “kepedulian.” Mari bergerak. Mari bantu. Mari hadir. Sebelum air kembali naik, sebelum harapan benar-benar tenggelam.

Banda Aceh, 8 Desember 2025,

Penulis

Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pos terkait