Oleh : Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.
DI TENGAH bencana yang melanda Aceh dan Sumatera, kita menyaksikan sebuah drama politik yang tak tertulis namun terasa: pemerintah merasa telah bekerja keras, sementara masyarakat merasa ditinggalkan. Dua narasi ini saling bertabrakan di ruang publik, menciptakan kebisingan yang seharusnya bisa menjadi simfoni koreksi, namun justru berubah menjadi arena saling tuding. Dari pihak pemerintah, dalam berbagai pernyataan resminya, telah menyampaikan bahwa mereka telah turun ke lapangan, mengerahkan bantuan dan mengkoordinasikan penanggulangan bencana di wilayah-wilayah terdampak. Namun, di sisi lain, adanya laporan dari warga, relawan dan netizen menunjukkan ketimpangan antara klaim dan kenyataan. Bantuan yang tak merata, data yang tak sinkron dan respons yang lambat menjadi keluhan yang berulang.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemerintah hanya ingin dipuji, atau siap dikritik? Karena dalam demokrasi, kritik bukanlah gangguan, melainkan bagian dari mekanisme koreksi. Ketika kritik dianggap sebagai sebuah ancaman, maka yang sedang dibangun bukanlah negara demokratis, melainkan ruang gema kekuasaan. Menariknya lagi, kritik paling tajam justru datang dari masyarakat sipil, bukan dari lembaga legislatif. Padahal, dalam sistem presidensial, parlemen seharusnya menjadi oposisi yang aktif mengawasi jalannya pemerintahan. Namun yang terjadi adalah mayoritas parlemen justru berada dalam pelukan koalisi, menikmati kenyamanan tanpa friksi. Koalisi yang terlalu gemuk sering kali kehilangan daya kritis. Semua pihak sibuk menjaga dinamika harmoni politik, sementara realitas di lapangan menjadi terabaikan. Laporan-laporan yang disusun pun lebih banyak menyenangkan atasan ketimbang mencerminkan kondisi sesungguhnya. Maka jangan heran jika publik merasa harus turun tangan sendiri.
Netizen, dengan segala keterbatasannya, menjadi oposisi informal yang paling vokal. Mereka menyuarakan keluhan, membagikan foto dan video, serta menuntut pertanggungjawaban. Ini bukan sekadar bentuk keluhan emosional, tapi merupakan bentuk partisipasi politik digital yang sah dan perlu dihargai. Namun, respons pemerintah terhadap kritik ini sering kali defensif. Alih-alih membuka ruang dialog, yang muncul justru narasi delegitimasi: menyebut kritik sebagai hoaks, menyalahkan penyebaran informasi, bahkan mengancam dengan pasal-pasal karet. Ini bukan hanya kontra-produktif, tapi juga berbahaya bagi demokrasi.
Pemerintah yang baik bukanlah yang bebas dari kritik, melainkan yang mampu mengelola kritik menjadi bahan perbaikan. Ketika suara-suara dari bawah dianggap sebagai gangguan, maka jurang antara penguasa dan rakyat akan semakin lebar. Dan dalam konteks bencana, jurang itu bisa berarti nyawa. Di sisi lain, masyarakat yang menjadi oposisi juga perlu menjaga kualitas kritiknya. Kritik yang tajam bukan berarti harus kasar. Emosi boleh menyala, tapi data dan etika tetap harus dijaga. Karena jika tidak, kritik akan mudah dipatahkan dengan labelisasi: provokator, penyebar hoaks, atau pembenci pemerintah. Kritik yang baik adalah yang berbasis fakta, disampaikan secara argumentatif dan diarahkan untuk perbaikan. bukan hanya sekadar berteriak, tapi ajakan untuk berpikir ulang. Dan dalam konteks bencana, kritik yang tepat bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada seribu baliho ucapan duka.
Selanjutnya, juga perlu menyoroti bagaimana media yang berperan menjadi arus utama sering kali gagal sebagai penengah. Banyak media justru menjadi corong resmi, mengutip pernyataan pemerintah tanpa verifikasi dan mengabaikan suara warga. Ini membuat publik semakin bergantung pada media sosial, dengan segala risiko disinformasinya. Dalam situasi seperti ini, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting. Lembaga-lembaga independen, akademisi dan komunitas lokal harus mengambil peran sebagai penjaga akal sehat publik. Mereka harus menjadi jembatan antara suara rakyat dan telinga pemerintah. Pemerintah pun harus mulai membangun sistem pelaporan yang partisipatif. Bukan hanya menerima laporan dari bawah, tapi juga membuka ruang untuk diverifikasi oleh publik. Transparansi bukan ancaman, tapi fondasi kepercayaan.
Lalu, kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada narasi tunggal dari pusat. Bencana adalah urusan kolektif yang penanganannya harus melibatkan semua pihak. Baik dsri pemerintah, legislatif, media dan masyarakat harus duduk bersama, bukan saling menyalahkan.
Koalisi politik yang sehat adalah yang tetap menjaga jarak kritis. Tidak semua harus disetujui, tidak semua harus dibungkus dengan kata “demi stabilitas”. Justru dalam ketegangan itulah, kebijakan diuji dan diperbaiki.
Oposisi yang sehat juga bukan berarti selalu menentang. Ia bisa mendukung jika benar, dan menolak jika keliru. Yang penting adalah keberanian untuk bersuara, bukan kenyamanan dalam diam.
Kita sedang diuji, bukan hanya oleh bencana alam, tapi juga oleh bencana etika dan keberanian. Apakah kita memilih menjadi penonton yang pasrah, atau pelaku yang kritis?
Pemerintah harus belajar dengan kondisi ini bahwa, kritik itu bukanlah musuh. Ia adalah cermin yang kadang menyakitkan, tapi perlu untuk melihat wajah sendiri. Dan masyarakat harus terus menjaga cermin itu tetap bersih, agar tak mudah dibungkam oleh kabut propaganda. Jika pemerintah merasa tidak bekerja karena dikritik, mungkin yang perlu ditinjau ulang bukan kritiknya, tapi cara bekerjanya. Karena kerja yang baik akan menjawab kritik adalah dengan hasil, bukan dengan amarah. Dan jika masyarakat merasa lelah bersuara karena tak didengar, maka jangan berhenti. Karena diam adalah bentuk kekalahan paling awal. Suara rakyat, sekecil apa pun, adalah denyut nadi dalam demokrasi dalam makna: kebebasan, kesetaraan dan kekeluargaan.
Sekarang ini kita tidak butuh pemerintah yang sempurna, tapi pemerintah yang mau mendengar. Kita juga tidak butuh oposisi yang beringas, tapi yang konsisten menyuarakan dan berbuat. Yang kita butuhkan adalah ruang kebersamaan dalam musibah bencana saat ini, di mana kritik dan kerja bisa saling menguatkan. Bencana ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem, bukan memperkuat ilusi. Karena yang dibutuhkan rakyat bukan narasi, tapi kehadiran nyata. Dan kehadiran itu hanya mungkin jika semua pihak bersedia keluar dari zona nyaman, seperti yang dilakukan oleh beberap kepala daerah yang ada di Aceh, mulai dari Gubernur hingga para Bupati dan Walikota.
Mari kita jaga agar demokrasi tidak hanya hidup hanya di kotak suara, tapi juga di ruang publik. Di mana kritik bukanlah sebuah dosa, dan kerja bukanlah pencitraan. Di mana koalisi tidak berarti bisu, dan oposisi tidak berarti musuh. Karena pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukanlah siapa yang berkuasa, tapi bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk melindungi yang paling rentan.
Banda Aceh, 19 Desember 2025
M12H






