Indonesia Investigasi
Bireuen – Pagi itu, di Desa Hagu, sisa embun masih melekat di ujung dedaunan. Angin bertiup pelan, seakan membawa bisikan masa lalu yang pernah membekas dalam sejarah Aceh. Namun, di tengah keheningan alam, ada satu langkah kecil yang menggetarkan hati, sebuah keputusan besar yang membuka lembaran baru perjalanan damai di Tanah Rencong. Selasa (18/03/2025).
Seorang pria berjalan perlahan menuju Posko Satgas TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-123. Wajahnya menunduk, matanya menyimpan kisah panjang tentang perjuangan dan pengorbanan. Tangannya menggenggam erat sesuatu yang lebih berat daripada besi dan baja, ia membawa sejarah, luka, dan harapan.
Dalam keheningan yang nyaris sakral, ia menyerahkan apa yang selama ini disembunyikannya, satu pucuk senapan SS1 V1, tiga magazen SS1, tiga puluh butir munisi kaliber 5,56 mm, satu pistol rakitan berikut satu magazen dan satu butir munisi kaliber 9 mm, serta dua granat tangan jenis nanas. Senjata-senjata yang dulu menjadi simbol perlawanan, kini diserahkan dalam diam yang penuh makna.
Proses ini bukan terjadi dalam semalam. Sejak TMMD ke-123 digelar, komunikasi terus dibangun, kepercayaan dirajut dengan sabar. Dandim 0111/Bireuen, Letkol Inf Ade Munandar, S.I.Pem., bersama seluruh personel Satgas, hadir bukan sekadar membangun jalan dan rumah, tetapi juga menata ulang jalinan persaudaraan yang sempat terputus oleh konflik.
Lewat pendekatan persuasif yang humanis, hati yang dulu membatu perlahan melunak. Sang mantan kombatan, yang bertahun-tahun hidup dalam waspada dan ketakutan, akhirnya membuka diri. Di balik rasa resahnya, ia menyimpan harapan, hidup yang damai, bebas dari bayang-bayang peluru dan desingan senjata.
Saat senjata itu diserahkan, suasana di posko menjadi hening. Semua yang hadir tahu, ini bukan sekadar serah terima benda mati. Ini adalah pernyataan bahwa jalan menuju masa depan Aceh bukan lagi lewat konflik, melainkan lewat perdamaian, kepercayaan, dan kerja sama.
Letkol Inf Ade Munandar menerima senjata itu dengan penuh hormat. Ia memahami bahwa di balik keputusan besar ini ada keberanian luar biasa. Identitas sang mantan kombatan dijamin tetap rahasia. Keamanannya dilindungi sepenuhnya. Karena ini bukan sekadar soal menyerahkan senjata, melainkan tentang menyerahkan kepercayaan kepada negara.
Kini, senjata-senjata yang dulu menggelegar di hutan Aceh telah diam di tangan prajurit. Tak ada lagi letusan yang mengoyak malam, hanya ada harapan baru yang tumbuh di dada masyarakat.
Penyerahan ini bukanlah akhir dari kisah panjang Aceh, melainkan permulaan babak baru. TMMD ke-123 bukan sekadar membangun fisik desa, tetapi juga membangun kembali kepercayaan, rasa aman, dan persaudaraan di tengah masyarakat.
Dan pagi itu, di bawah langit biru Desa Hagu, seorang pria melangkah pulang. Bukan lagi dengan senjata di genggamannya, tetapi dengan secercah harapan yang kini tumbuh dalam dirinya. Harapan untuk hidup yang damai, tenteram, dan bermartabat di tanah kelahirannya.
Teuku Fajar Al-Farisyi