“Disusun Oleh; Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.i,”
Indonesiainvestigasi.com
DALAM berbagai forum diskusi baik secara formal atau in-formal bersama pelajar, mahasiswa, dan generasi muda, saya menemukan banyak diantara mereka sudah mulai memiliki kesadaran politik yang semakin matang. Mereka tidak hanya mempertanyakan siapa yang memegang kekuasaan, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Terutama setelah amandemen UUD 1945 tahun 2001 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pertanyaan mereka sederhana namun mendalam: “apakah pejabat publik benar-benar memahami bahwa mereka adalah pelayan rakyat?”
Amandemen tersebut mengubah struktur kekuasaan secara signifikan. Presiden, DPR, DPD, hingga kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat. Mereka bukan lagi representasi lembaga tertinggi negara, melainkan “pelaksana mandat konstitusional” yang bersumber dari suara rakyat. Dalam sistem ini, pejabat publik dituntut untuk menjalankan tugas secara transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan terhadap kepentingan umum.
Namun, dalam praktiknya, para generasi muda melihat masih banyaknya ketimpangan. Mereka menyoroti saat ini birokrasi terkesan lamban, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, dan pejabat yang lebih sibuk membangun citra daripada menyelesaikan masalah (walaupun ada mereka masih dalam jumlah kecil dan masih belum mendapatkan dukungan secara maksimal dari segenap pihak). Demokrasi prosedural belum sepenuhnya menjadi demokrasi secara substansial. Pemilu memang berlangsung, tetapi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan masih sangatlah terbatas.
Fungsi pejabat publik yang seharusnya tidak berhenti pada pelaksanaan teknis. Mereka harus menjadi fasilitator aspirasi rakyat, penjaga nilai-nilai konstitusi, dan penggerak perubahan sosial. Presiden dan wakil presiden, misalnya, harus mampu merumuskan kebijakan strategis yang menjawab kebutuhan rakyat, bukan sekadar memenuhi janji kampanye. DPR dan DPD harus menjadi ruang artikulasi kepentingan rakyat dan daerah, bukan arena transaksi politik.
Di tingkat daerah, kepala daerah memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan otonomi. Mereka harus mampu membaca kebutuhan lokal, membangun sinergi dengan masyarakat, dan memastikan bahwa; pembangunan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan budaya. DPR pada level daerah sebagai mitra legislatif haruslah menjalankan fungsi pengawasan secara kritis dan konstruktif.
Aparatur Sipil Negara (ASN) juga menjadi sorotan. Para generasi muda mempertanyakan netralitas dan profesionalisme ASN dalam melayani masyarakat. Mereka berharap ASN tidak terjebak dalam politik praktis, tetapi fokus pada pelayanan publik yang efisien dan berintegritas. ASN harus menjadi tulang punggung birokrasi yang adaptif dan inovatif.
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial memiliki peran penting dalam menjaga supremasi hukum. Generasi muda menuntut agar lembaga-lembaga tersebut tidak hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan transparan. Hukum harus menjadi instrumen keadilan dan bukan alat yang digunkan secara liar oleh para pelayan publik.
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu juga tek luput menjadi perhatian. Mahasiswa menekankan pentingnya pemilu yang jujur, adil, dan bebas dari politik uang. Mereka ingin proses demokrasi yang sehat, di mana suara rakyat benar-benar menentukan arah kebijakan negara, bukan sekadar ditayangkan secara indah dengan angka statistik.
Dalam konteks ini, pendidikan politik menjadi sangat penting. Generasi muda menekankan perlunya pendidikan politik sejak dini agar rakyat memahami hak dan kewajibannya sebagai pemilik kedaulatan. Demokrasi yang kuat lahir dari rakyat yang sadar, kritis, dan aktif dalam proses politik.
Saat membahas tentang Provinsi Aceh, diskusi menjadi lebih intens. Pasca perdamaian Helsinki 2025 yang menandai dua dekade berakhirnya konflik bersenjata, Aceh memasuki babak baru. Perdamaian bukan hanya soal senjata yang berhenti berbunyi, tetapi tentang bagaimana hak-hak politik dan sosial masyarakat Aceh dijalankan secara adil dan bermartabat.
Aceh memiliki kekhususan yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006, termasuk pelaksanaan syariat Islam, partai lokal, dan pengelolaan sumber daya alam. Namun, generasi muda Aceh menyoroti bahwa kekhususan ini belum sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan. Mereka melihat bahwa simbolisme sering kali lebih dominan daripada substansinya.
Dalam peringatan dua dekade perdamaian, memang benar banyak tokoh-tokoh dari Aceh telah menyuarakan harapan agar pemerintah pusat konsisten menjalankan butir-butir MoU Helsinki. Janji-janji seperti pemberian lahan untuk eks kombatan dan penguatan lembaga Wali Nanggroe belum sepenuhnya terealisasi. Generasi muda Aceh menuntut agar perdamaian tidak hanya menjadi perayaan, tetapi juga momentum untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Secara ekonomi Aceh masih tertinggal dibanding provinsi lain di Sumatera. Sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan belum mampu mendorong pertumbuhan yang signifikan. Diversifikasi ekonomi dan penguatan industri lokal harus menjadi agenda penting. Generasi muda Aceh ingin melihat kebijakan yang berpihak pada penciptaan lapangan kerja dan penguatan keterampilan tenaga kerja.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh memang meningkat, tetapi tantangan masih besar. Pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas. Kampus-kampus di Aceh, seperti Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry yang menjadi “Jantoeng hatee Rakyat Aceh” seharusnya memiliki peran strategis dalam membangun generasi yang kritis dan berdaya saing. Pendidikan harus menjadi jembatan antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang damai.
Dalam diskusi dan obrolan dengan beberapa mahasiswa Aceh juga menekankan pentingnya sinergi antara; ulama, akademisi, dan pejabat publik. Mereka ingin melihat kepemimpinan yang tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan spiritual. Ulama harus menjadi penjaga nilai, bukan sekadar simbol. Pejabat harus menjadi pelayan, bukan penguasa.
Partai lokal di Aceh juga menjadi sorotan. Harapan besar terhadap transformasi eks-GAM melalui jalur politik belum sepenuhnya terwujud. Fragmentasi politik dan lemahnya konsolidasi menjadi tantangan. Generasi muda berharap partai lokal mampu menjadi wadah aspirasi rakyat, bukan disibukkan semata sebagai arena perebutan kekuasaan.
Refleksi ini lahir dari diskusi dan dialog yang jujur dan reflektif bersama generasi yang akan mewarisi masa depan bangsa. Mereka tidak hanya menuntut perubahan, tetapi juga siap menjadi bagian dari solusi. Kedaulatan rakyat bukan sekadar teks konstitusi, tetapi semangat yang harus hidup dalam setiap kebijakan dan tindakan pejabat publik.
Aceh, dengan segala kekhususannya, memiliki peluang besar untuk menjadi model demokrasi lokal yang berbasis nilai dan partisipasi. Namun, peluang itu hanya akan terwujud jika segenap pihak—pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat—”bersatu dalam visi yang sama: membangun Aceh yang damai, adil, dan sejahtera.”
Opini ini bukan sekadar kritik, tetapi sebuah seruan ajakan untuk dapat bergerak bersama. Karena demokrasi bukan hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi tentang bagaimana kekuasaan dijalankan untuk kemaslahatan bersama. Dan Aceh, dengan sejarahnya yang panjang, layak menjadi pelopor dalam mewujudkan cita-cita itu.
Nurhalim