Jejak Rasa: Mi Caluek dan Kenangan Leting 1994 di Alun-Alun Meureudu

Indonesia-Investigasi.com

Meureudu, Pidie Jaya | 09 Mei 2025  – Angin sore menyapa lembut lapangan bola kaki Meureudu, tempat yang tak pernah kehilangan makna bagi generasi yang tumbuh dan bermain di bawah langit Pidie Jaya. Pada hari itu, alon-alon Meureudu tak hanya menjadi ruang terbuka publik, tapi juga menjadi ruang batin yang menyatukan kembali serpihan-serpihan memori dari tahun 1994.

 

Cut Maryam, atau akrab disapa “Nyan Poyam” oleh teman-teman lamanya, baru saja kembali dari kota Sabang. Setelah bertahun-tahun merantau ke pulau Jawa di kota depok, kepulangan ini adalah sebuah perjalanan rasa—bukan hanya menjejakkan kaki kembali di tanah kelahiran, tetapi juga menyusuri lorong-lorong kenangan masa remaja.

Bacaan Lainnya

 

Bersama rekan-rekan satu angkatan yang tergabung dalam Leting 1994, Cut Maryam hadir dalam temu kangen yang dirancang sederhana namun sarat makna. Pilihan tempat jatuh pada alon-alon Meureudu, bukan tanpa alasan. Bagi mereka, lapangan ini bukan hanya tempat bermain bola atau menonton pasar malam, tetapi juga titik temu masa kecil yang membentuk jalinan persahabatan abadi.

 

Di antara canda dan obrolan hangat, Bantroh Ugampong—salah satu sahabat dekat Maryam—mengajaknya ke sebuah warung mi caluek legendaris yang berdiri di tepi lapangan. Warung kecil itu telah menjadi saksi bisu bagi ratusan pertemuan, tawa, bahkan air mata generasi demi generasi. Aroma mi caluek yang gurih berpadu dengan semilir angin petang dan riuh suara anak-anak yang bermain bola, menciptakan atmosfer yang begitu khas kampung halaman.

 

“Rasanya tidak berubah sejak dulu,” ujar Cut Maryam sambil menyendok suapan pertama mi caluek ke mulutnya. Ia lalu menyeruput es kelapa muda, sesekali terdiam, membiarkan rasa dan suasana membawanya ke masa lalu. Bukan karena lapar, tetapi karena dalam setiap suapan, ia menemukan kembali dirinya yang dulu: seorang remaja ceria yang tumbuh di tengah kampung yang hangat dan penuh warna.

 

Andre, ketua grup alumni Leting 1994, menjadi sosok sentral di balik reuni ini. Dikenal karena semangatnya yang tak pernah padam, Andre telah lama menjadi penggerak kegiatan alumni — dari mengorganisir temu kangen, arisan kecil, hingga hadir dalam acara duka sebagai bentuk empati dan persaudaraan.

 

“Yang kita bangun bukan sekadar nostalgia,” ungkap Andre kepada tim Indonesia-Investigasi. “Ini tentang merawat tali silaturahmi, tentang memastikan bahwa kita tidak lupa dari mana kita berasal.”

 

Acara reuni itu tak diisi oleh panggung megah atau hiburan besar. Justru kesederhanaan menjadi daya tarik utamanya. Obrolan santai di bangku kayu warung, derai tawa tanpa beban, dan kehangatan yang tak bisa dibeli menjadi bukti bahwa yang dibutuhkan untuk kembali ‘pulang’ bukanlah kemewahan, melainkan keikhlasan untuk hadir, mengenang, dan menyambung kembali cerita-cerita lama.

 

Tim media Indonesia-Investigasi.com turut hadir menyaksikan momen berharga ini. Di bawah langit senja Meureudu, yang berwarna jingga keemasan, kami melihat lebih dari sekadar reuni. Kami menyaksikan perjamuan rasa, di mana mi caluek bukan hanya makanan, tapi juga medium untuk mengenang, merayakan, dan menguatkan kembali tali persaudaraan yang tak lekang oleh waktu.

 

 

Reporter

Arju Na Fahlefi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *