Gunung Burni Telong: Permata Hijau di Atas Tanah Gayo yang Menanti Kesadaran Manusia

 

Indonesia Investigasi

 

Di ufuk timur Aceh, menjulang sebuah mahakarya alam yang seolah menjadi penjaga sunyi Bener Meriah. Gunung Burni Telong, sang peraduan awan dan langit, yang dalam diamnya menyimpan kisah keindahan, kekayaan hayati, sekaligus kerentanan yang mengintai.

Bacaan Lainnya

 

Burni Telong bukan sekadar gugusan batu dan tanah yang menjulang ke angkasa. Ia adalah nadi kehidupan, warisan ekologis, sekaligus cermin keluhuran alam Aceh yang belum sepenuhnya kita sadari keberadaannya. Hamparan hijaunya adalah nafas bagi segenap makhluk, aliran air dari punggungnya adalah berkah yang merembes ke sawah-sawah, ke ladang kopi, hingga ke bilik-bilik rumah warga. Sayangnya, di balik pesonanya, alam ini terus diuji oleh tangan-tangan manusia yang kerap alpa akan tanggung jawab.

 

Di lereng-lerengnya, tumbuh Edelweis si “bunga abadi” yang bukan hanya simbol keteguhan, tetapi juga pertanda bahwa Burni Telong masih menyimpan jejak kehidupan yang murni. Namun betapa ironis, bunga yang seharusnya dibiarkan menari bersama angin itu justru sering tercerabut dari akarnya, dibawa pulang sebagai oleh-oleh kesombongan manusia, sementara keseimbangan ekosistem yang lebih besar dibiarkan terganggu.

 

Bukan hanya Edelweis, Burni Telong adalah rumah bagi anggrek liar, kantong semar, dan barisan fauna yang mungkin tak semua mata pernah menyadari keberadaannya. Murai batu yang merdu, elang kecil yang gagah, musang yang lincah, hingga kucing hutan yang mengendap dalam sunyi. Potret keanekaragaman ini seharusnya menjadi alarm bahwa Burni Telong bukan tempat bermain tanpa batas, melainkan ruang suci yang menuntut penghormatan dan kesadaran.

 

Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Lingkungan, saya tak ingin melihat Burni Telong hanya dikenal lewat foto-foto Instagram, atau sekadar tujuan mendaki yang meninggalkan jejak sampah dan kelelahan. Lebih dari itu, gunung ini adalah universitas alam, tempat kita belajar tentang harmoni, tentang keseimbangan, tentang bagaimana alam menjaga kita, jika kita mau menjaga dia.

 

Pariwisata memang memberi nafkah bagi masyarakat lokal, dan itu patut kita apresiasi. Tetapi, pembangunan tanpa aturan adalah luka yang perlahan akan menggerogoti tubuh gunung ini. Harus ada aturan tegas, edukasi yang menyentuh hati, dan keterlibatan penuh masyarakat sekitar agar Burni Telong tetap lestari. Kita tidak butuh janji kosong atau slogan pelestarian belaka. Yang kita perlukan adalah kesadaran kolektif, bahwa menjaga alam adalah bentuk cinta paling nyata kepada tanah kelahiran kita.

 

Burni Telong bukan hanya bentang alam. Ia adalah penyangga iklim, penyedia air bersih, penjaga keanekaragaman hayati, dan penegas identitas ekologis Aceh. Jika kita abai, bukan tak mungkin permata hijau ini akan memudar, hilang dalam riuh pembangunan tanpa arah.

 

Sudah saatnya kita menempatkan Burni Telong dalam peta utama pelestarian lingkungan di Aceh. Warisan ini bukan untuk kita eksploitasi, tetapi untuk kita syukuri, jaga, dan wariskan kepada anak cucu. Mari satukan langkah, rangkai kesadaran, dan jaga mahkota hijau di atas tanah Gayo ini, agar ia tetap kokoh, tetap hidup, tetap menjadi penyejuk bumi dan jiwa.

 

Karena di setiap desir angin di puncaknya, di setiap dedaun yang berguguran, alam tengah berbisik:

“Aku telah menjaga kalian, kini saatnya kalian menjaga aku.”

 

 

Oleh: Waisul Qarani

Mahasiswa Prodi Ilmu Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Almuslim

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *