Film Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman: Narasi Sejarah atau Alat Propaganda?

Indonesia Investigasi 

 

Penulis: Muhammad Ramadhanur Halim, S,HI,

 

Bacaan Lainnya

Upaya pembuatan film tentang hubungan Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman adalah langkah ambisius yang menjanjikan sebagai jembatan pengenalan sejarah kepada generasi modern. Namun, pertanyaannya adalah: apakah film ini benar-benar akan menjadi representasi sejarah yang objektif, atau justru menjadi alat propaganda terselubung dengan kepentingan tertentu?

 

Sejarah tidak pernah bebas dari interpretasi. Dalam setiap penggalan peristiwa, selalu ada perspektif yang menonjol dan lainnya yang tenggelam. Jika proyek film ini tidak dilakukan dengan transparansi dan kehati-hatian, bukan tidak mungkin ia akan menjadi narasi sepihak yang mengagungkan satu pihak di atas lainnya. Hubungan antara Aceh dan Ottoman memang tercatat dalam berbagai manuskrip sejarah, tetapi bagaimana hubungan itu seharusnya digambarkan? Sebagai aliansi setara, atau sebagai satu pihak yang lebih dominan?

 

Selain itu, ada dilema dalam pengembangan naskah. Film sejarah sering kali harus berhadapan dengan tuntutan sinematik: bagaimana membuatnya tetap menarik tanpa mengorbankan keakuratan historis? Jika terlalu akademis, film ini mungkin tidak akan menarik perhatian publik luas. Namun, jika terlalu dramatis, distorsi sejarah bisa menjadi masalah serius. Fakta bisa tersisihkan demi membangun alur cerita yang lebih “heroik,” dan pada akhirnya, film ini bisa lebih menyerupai mitos dibandingkan dengan kenyataan sejarah.

 

Dukungan pemerintah Aceh dalam proyek ini juga mengundang pertanyaan besar. Apakah ini murni untuk kepentingan budaya dan edukasi, atau ada agenda lain di balik layar? Dalam sejarah perfilman, tidak sedikit karya yang digunakan sebagai alat politik untuk membentuk citra tertentu. Dengan investasi besar yang dijanjikan, wajar untuk mempertanyakan apakah film ini akan digunakan sebagai alat memperkuat identitas politik Aceh, atau bahkan membentuk narasi yang membangun kembali citra hubungan historis demi kepentingan di masa depan.

 

Jika film ini benar-benar ingin menjadi representasi sejarah yang jujur, maka ia harus melibatkan berbagai pihak dan perspektif, bukan hanya sejarawan lokal, tetapi juga ahli sejarah Ottoman dan pakar independen. Keterbukaan terhadap berbagai interpretasi akan menentukan apakah film ini menjadi jendela sejarah yang mencerahkan, atau hanya cerminan narasi yang dikendalikan oleh kepentingan tertentu.

 

Pertanyaan terbesar bukan hanya soal bagaimana film ini akan dibuat, tetapi juga bagaimana sejarah Aceh dan Ottoman akan dikenang. Apakah sebagai catatan objektif, atau sebagai mitologi baru yang mengaburkan kenyataan?

 

 

Nurhalim

Pos terkait