Oleh: Syaefudin Simon
Jakarta – Prof. Johana EP Hadiyono (Gubes Psikologi UGM) pernah mengomentari status-ku di FB. Sulit membedakan tulisan Mas Simon, mana fakta mana fiksi, ungkapnya.
Nah sekarang aku jawab, apa bedanya fakta dan fiksi? Fakta kadang lebih fiksi dari fiksi. Itu kata cerpenis Budi Darma, yang Gubes Sastra Unair, Surabaya.
Dulu, aku tak pernah berpikir, ada pesawat penumpang Boeing 747 menabrak gedung menara kembar pencakar langit di New York. Pesawat dan gedung hancur. Sungguh dahsyat dan mengerikan. Ribuan manusia tewas. Itu fakta yang lebih dahsyat dari fiksi. Dan gilanya, pelakunya orang-orang Islam, yang nabinya cinta damai.
Contoh lainnya, tiba-tiba Jokowi yang selama ini tampak ramah, lugu, dan ndeso, begitu brutal mengacak-acak demokrasi Indonesia. Jokowi berkhianat pada PDIP dan Bu Mega yang membesarkannya. Jokowi menyutradarai drakor pemilu 2024. Tanpa malu-malu. Kritik pedas kaum intelektual, budayawan, dan akademisi terhadap Jokowi dianggap angin lalu.
Jadilah pemilu 2024 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Lebih buruk ketimbang pemilu zaman Orba. Korupsi gigantik disengaja untuk biaya kampanye Prabowo Gibran. Jika Soeharto hanya berani mengangkat Tutut, anaknya jadi Mensos, Jokowi lebih edan, mendudukkan Gibran jadi Wapres. Ini fakta yang lebih dahsyat dari fiksi.
Sobatku Denny JA, konsultan politik Jokowi dan Prabowo-Gibran membelanya. Kenapa menyalahkan Jokowi soal Gibran wapres? Bukankan Presiden John F Kennedy pernah mengangkat adiknya, Robert Kennedy, sebagai Jaksa Agung?
Kennedy, membela diri. Robert Kennedy adalah seorang ahli hukum yang handal dan hebat. Reputasinya tidak diragukan. Andaikan Robert bukan adikku, niscaya tetap aku pilih jadi Jaksa Agung. Kebetulan dia adikku. Dan UU tidak melarangnya. Rakyat Amerika pun diam. Tak ada demo berjilid-jilid. Robert Kennedy memang pakar hukum yang hebat. Rakyat Uncle Sam mengakuinya.
Gibran? Apa prestasinya? Ketika dicawapreskan, Jokowi melanggar UU anti-KKN yang diperjuangkan di awal era Reformasi. Demi Gibran, Jokowi mengacak-acak Mahkamah Konstitusi dengan bantuan Uncle Usman, Ketua MK.
So, dalam kasus tadi, latar belakang Jokowi beda banget dengan kasus Kennedy. Seperti langit dan bumi.
Ya. Fakta yang lebih fiksi dari fiksi sudah terjadi. Sungguh aku tak pernah berpikir dan berimajinasi Jokowi bisa seperti itu. Aku sampai tak bisa tidur seminggu gegara ulah Jokowi. Mau diletakkan di mana mukaku yang pernah menulis buku pujian untuk Jokowi berjudul Jokowi The Inspiring President! Malu…
Tapi itu terjadi. Dahsyat! Tesis Budi Darma terbukti di Indonesia.
Sampai hari ini pun aku tak habis pikir — kenapa Jokowi seperti itu. Lebih aneh lagi, orang seperti Efron Bayern dan Teguh Budi Wibowo, dua sahabat terbaikku di FB, alumni UGM, tetap membela Jokowi. Dan orang seperti Efron dan Teguh ternyata buaanyaak sekali. Kesambet massal, pinjam istilah Cak Nun.
Ini benar-benar luar biasa. Penipuan dan keculasan terjadi secara nasional. Itulah fakta yang lebih fiksi dari fiksi yang kini terjadi di Indonesia.
Itulah jawabanku untuk Prof. Johana!
Penulis adalah kolumni dan Pewarta PPWI
(Red/Tim)