Evaluasi 100 Hari Kebijakan Gubernur Aceh: Sudah Berjalan atau Sekadar Seremoni Belaka?

Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

 

Indonesiainvestigasi.com

SEJAK dilantik pada 12 Februari 2025, Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Wakilnya, Fadhlullah, telah memasuki periode 100 hari kepemimpinan. Masa ini biasanya menjadi tolak ukur awal untuk menilai efektivitas pemerintahan, apakah kebijakan yang dicanangkan telah berjalan sesuai harapan atau sekadar formalitas yang belum berbuah dampak signifikan. Dalam konteks Aceh, kebijakan yang dikeluarkan perlu diuji bukan hanya dari aspek implementasi, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat.

Bacaan Lainnya

 

Salah satu kebijakan yang mencuri perhatian adalah “Instruksi Gubernur Nomor 1 Tahun 2025” yang mewajibkan ASN dan masyarakat untuk melaksanakan sholat berjamaah. Secara normatif, kebijakan ini bertujuan memperkuat nilai-nilai religius di Aceh. Namun, tantangan utama adalah bagaimana instruksi ini diterapkan secara inklusif dan tidak sekadar menjadi aturan tanpa pengawasan. Tanpa mekanisme evaluasi yang jelas, kebijakan ini hanya menjadi simbol semata sehingga tidak tercerminnya substansi dari kebijakan tersebut.

 

Di sektor ekonomi, “Gerakan Aceh Berwakaf” digadang-gadang sebagai solusi dalam memperkuat ekonomi gampong. Program ini memiliki potensi besar jika dikelola secara progresif dan disertai dengan roadmap jangka panjang. Namun, sampai saat ini, belum ada laporan konkret mengenai dampak langsungnya terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jika hanya bersandar pada konsep tanpa eksekusi yang sistematis, program ini akan kehilangan daya dorongnya.

 

Sorotan lain tertuju pada transparansi pengelolaan “Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA)” yang akan berakhir pada tahun 2027. Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf perlu memastikan bahwa alokasi dana tersebut digunakan untuk proyek yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Namun, laporan penggunaan dana ini belum sepenuhnya terbuka, sehingga memicu kekhawatiran terkait efektivitas pemanfaatannya. Tanpa perencanaan yang matang, DOKA berisiko menjadi dana yang tidak terarah.

 

Dari sisi sosial, upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur masih dihadapkan pada tantangan administrasi dan eksekusi. Beberapa proyek jalan dan jembatan yang diinisiasi dalam 100 hari pertama masih dalam tahap perencanaan tanpa kepastian realisasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintahan baru lebih fokus pada gagasan atau aksi nyata?. Karena tanpa adanya tindakan konkrit, pembangunan di Aceh bisa stagnan di pertengahan jalan.

 

Namun, tidak semua kebijakan berjalan tanpa hasil. Beberapa program yang melibatkan masyarakat secara langsung, seperti fasilitasi UMKM dan bantuan nelayan, mulai menunjukkan efek positif. Tetapi, implementasi kebijakan masih cenderung sporadis dan belum merata. Pemerintah perlu menyiapkan sistem evaluasi yang lebih terstruktur dan sistematis agar kebijakan tersebut berkelanjutan dan tidak hanya bersifat sementara.

 

Secara keseluruhan, 100 hari pemerintahan Muzakir Manaf adalah momentum awal yang penuh tantangan. Segala bentuk kebijakan telah dirancang dan diumumkan, tetapi efektivitasnya masih harus dan perlu diuji secara lebih jauh. Pemerintah Aceh harus segera melakukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa kebijakan yang sudah ada ini berjalan secara efektif dan berdampak pada masyarakat Aceh. Jika tidak ada langkah korektif dalam kepemimpinannya ini dapat berisiko hanya menghasilkan kebijakan secara simbolis tanpa adanya perubahan nyata.

 

 

Nurhalim

Pos terkait