Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I,
Indonesiainvestigasi.com
DEMOKRASI sering dipandang sebagai mahkota peradaban politik modern, sebuah sistem yang menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat dalam menentukan nasib kolektif. Namun, di balik gemerlapnya deskripsi tersebut, demokrasi menyimpan paradoks yang tak bisa diabaikan begitu saja, karena menjanjikan suara rakyat, tetapi sering kali hanya menggemakan suara mereka bagi yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya.
Jika ditelusuri akar sejarahnya, demokrasi bukanlah hasil dari niat mulia semata, melainkan lahir dari petarungan kepentingan dan perubahan dalam struktur sosial. Kemunculannya terjadi ketika kelompok-kelompok tertentu merasa perlu memperluas ruang politik demi mempertahankan atau memperluas pengaruh ekonomi mereka. Maka, demokrasi sejak awal bukanlah ruang netral, melainkan “sebuah arena perebutan pengaruh yang dibungkus dengan idealisme”.
Kenyataannya, demokrasi kerap sekali menjadi panggung bagi mereka yang memiliki modal besar untuk mengatur narasi, membentuk opini publik, dan mengendalikan arah kebijakan. Pemilu, yang seharusnya menjadi instrumen rakyat untuk memilih pemimpin dan perwakilannya, seketiks berubah menjadi “kompetisi citra” yang mahal dan manipulatif. Rakyat diposisikan sebagai penonton, bukan aktor utama.
Ketimpangan sosial dan ekonomi membuat demokrasi berjalan pincang. Mereka yang hidup dalam keterbatasan pada akses pendidikan, informasi, dan teknologi, cenderung tersisih dari proses pengambilan keputusan. Suara mereka tidak hilang, tetapi sering kali diredam oleh sistem yang lebih mengutamakan efisiensi politik daripada keadilan sosial.
Demokrasi yang sehat seharusnya tumbuh dari kesadaran kolektif, bukan hanya sekadar dalam bentuk prosedur administratif. Ia menuntut ruang dialog yang terbuka, di mana perbedaan pandangan tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebuah kekayaan dalam khazanah pemikiran. Namun, ketika ruang publik dipenuhi oleh ujaran kebencian, polarisasi, dan politik identitas yang sempit, demokrasi seperti kehilangan daya hidup dan energinya.
Perlu disadari bahwa, “demokrasi bukanlah sebuah tujuan akhir”, melainkan suatu proses yang terus bergerak dikarrnakan harus diuji, dikritisi, dan terus diperbarui. Ketika demokrasi mengalami stagnan, ia akan mudah dibajak oleh kekuatan konservatif yang ingin mempertahankan status quo. Maka, dalam hal ini partisipasi aktif bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban sebagai warga negara.
Dalam konteks Indonesia, demokrasi “pasca reformasi” membuka banyak peluang, tetapi juga menghadirkan tantangan baru. Oligarki politik, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum menjadi sebuah sandungan dalam mencapai cita-cita demokrasi yang inklusif serta berkeadilan. Demokrasi saat ini masih berjuang untuk bisa keluar dari bayang-bayang kekuasaan yang bersifat transaksional, lalu menjadikan sebuah pola pikir yang kemudian menjadi kebiasaan sehingga menjadi suatu karakter yang melekat padanya.
Demokrasi sejati menuntut keberanian untuk bertanya: siapa yang benar-benar diwakili? Apakah suara rakyat miskin, perempuan, dan kelompok minoritas benar-benar terdengar? Ataukah demokrasi hanya sebuah alat bagi para elit untuk mengukuhkan dominasi mereka dengan legitimasi formal?
Disaat sekarang ini tidak bisa membicarakan demokrasi tanpa menyentuh soal distribusi kekuasaan dan sumber daya. Ketika kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, maka pengaruh politiknya pun akan mengikuti. Sehingga “demokrasi menjadi ilusi” ketika akses terhadap kekuasaan ditentukan secara kemampuan finansial, bukan dengan kualitas suatu ide/gagasan atau integritas moral.
Demokrasi juga menuntut institusi yang kuat dan independen. Tanpa adanya lembaga hukum yang adil, media yang bebas, dan pendidikan politik yang merata sebagai prioritas utama, demokrasi hanya akan menjadi semacam prosedur hampa yang kehilangan substansi ketika tidak mampu melindungi hak-hak dasar warga negaranya.
Namun, harapan tetap ada. Melalui gerakan sosial, komunitas akar rumput, dan generasi muda yang kritis akan menjadi penanda bahwa, “demokrasi masih bisa diperjuangkan”. Mereka membawa energi baru, narasi alternatif, dan keberanian untuk menantang dominasi lama. “Demokrasi hidup ketika rakyat berani bersuara, bukan hanya pada saat pemilu saja, tetapi disetiap waktu secara unlimited”
Secara idealnya demokrasi juga harus menyentuh ruang batin masyarakat, menghidupkan rasa empati, solidaritas, dan kesadaran akan tanggung jawab secara bersama. Ia bukan hanya soal aturan, tetapi tentang nilai-nilai yang membentuk relasi sosial yang sehat berkeadilan.
Ingatlah bahwa, “demokrasi adalah janji yang harus ditebus”. Ia bukan hadiah dari kekuasaan, melainkan hasil dari perjuangan panjang. Dan perjuangan itu tidak akan selesai selama masih ada ketimpangan, ketidakadilan, dan suara-suara warga negaranya yang dibungkam. Demokrasi bukan sekadar sistem, ia adalah cermin dari keberanian yang terus memperjuangkan hak-hak kemanusiaannya.
Nurhalim,